Senin, 22 Februari 2016

Apakah Yazid bin Muawiyah Terlibat Dalam Pembunuhan Husein?

Apakah Yazid bin Muawiyah Terlibat Dalam Pembunuhan Husein






















Apa yang terjadi di Karbala pada masa pemerintahan Yazid bin Muawiyah adalah sebuah duka dalam catatan sejarah. Terbunuhnya Husein di tanah itu tentu sebuah peristiwa besar yang tidak diinginkan oleh seorang muslim pun. Tidak ada seorang muslim pun yang rela cucu Rasulullah dizalimi, kecuali mereka orang-orang yang keji. Tidak ada seorang muslim pun yang sudi mencelakakannya, kecuali mereka orang-orang yang celaka.

Alur cerita tentang terbunuhnya cucu Rasulullah ﷺ, Husein bin Ali radhiallahu ‘anhuma, telah kita bahas bersama di artikel Syahidnya Husein Radhiallahu ‘anhu di Padang Karbala. Ia dikhianati oleh orang-orang yang mengundangnya ke Kufah. Dan pasukan Ubaidullah bin Ziyad dengan lancang berani membunuhnya. Para Syiah Husein (pendukung Husein) yang mengkhianatinya telah mengakui bahwa mereka telah mengkhianati cucu Rasulullah. Oleh karenanya mereka membuat Jaisy at-Tawwabin untuk menebus kesalahan mereka.

Lalu sebagian penulis sejarah melemparkan kesalahan ini juga kepada Yazid bin Muawiyah karena ia sebagai khalifah saat itu. Bagaimanakah duduk permasalahannya? Mudah-mudahan artikel berikut ini bisa memberikan kita pemetaan tentang permasalahan ini.

Hubungan Kekerabatan Yazid dan Husein

Yazid bin Muawiyah adalah seorang Quraisy dari bani Umayyah. Ia satu kabilah dengan Amirul Mukminin Utsman bin Affan radhiallahu ‘anhu. Hubungan kekerabatannya dengan Husein bin Ali radhiallahu ‘anhuma sangatlah dekat. Berikut nasab keduanya:
  • Yazid bin Muawiyah bin Abu Sufyan bin Harb bin Umayyah bin Abdu asy-Syams bin Abdu Manaf.
  • Husein bin Ali bin Abi Thalib bin Abdul Muthalib bin Hasyim bin Abdu Manaf.
Keduanya adalah keturunan dari Abdu Manaf. Sementara anak dari Abdu Manaf yakni Abdu asy-Syams dan Hasyim adalah saudara kembar. Dengan demikian hubungan kekerabatan keduanya sangatlah erat. Tidak ada konflik keluarga di antara keduanya. Tokoh-tokoh Ahlul Bait di Madinah seperti: Muhammad al-Hanafiyah dan Ali bin Husein pun setia dengan membaiat Yazid.

Simstem Administrasi Pemerintahan Bani Umayyah

Abdussyafi bin Muhammad Abdul Latif –guru besar sejarah Islam di Universitas Al-Azhar- menjelaskan, “Para khalifah Bani Umayyah memberikan kekuasaan penuh kepada kepala daerah untuk mengatur wilayah mereka dan bekerja sesuai dengan prediksi mereka demi kemaslahatan negara. Kebijakan ini sama sekali berbeda dengan kebijakan Khulafaur Rasyidin. Pada masa Khulafaur Rasyidin, kepemimpinan dibagi-bagi menjadi beberapa bagian; kepemimpinan dalam berperang, politik, dan administratif dibedakan dengan kepemimpinan dalam mengatur keuangan negara. Karena itu, pada masa Khulafaur Rasyidin terdapat waliyyul harb (pemimpin perang), waliyyush shalat (imam shalat), dan wali Baitul Mal (bertugas mengatur keuangan negara) yang disebut dengan waliyyul kharraj; ia bertanggung jawab langsung di hadapan khalifah tentang keuangan dan ia tidak memiliki kekuasaan sama sekali dalam hal politik yang semisal.” (Latif, 2014: 521).

Berikut perbandingan gaya administratif Khulafaur Rasyidin dengan Dinasti Umayyah:
  1. Ciri khas administrasi masa Khulafaur Rasyidin adalah kepemimpinan terpusat (Sentral), dikarenakan situasi dan kondisi menuntut hal tersebut. Karena fase saat itu adalah fase membangun atau mendirikan negara. Oleh karena itu, Khulafaur Rasyidin mengawasi langsung hampir semua masalah yang dihadapi negara.
  2. Adapun ciri administrasi bani Umayyah adalah kepemimpinan tidak terpusat (Disentral). Hal ini diberlakukan ketika daerah kekuasaan sudah sangat luas. Dan jarak ibu kota Damaskus menjadi semakin jauh dengan wilayah-wilayah lainnya.

Sisi positif dari sistem administrasi Dinasti Umayyah adalah keputusan lebih cepat diambil dan rakyat segera mendapatkan solusi dari permasalahan di wilayah-wilayah mereka. Namun kelemahannya adalah control pusat tidak begitu ketat. Karena terkendala jarak yang membuat informasi lambat sampai ke ibu kota.

Dari sini, kita bisa mengetahui mengapa Ubaidullah bin Ziyad berani memutuskan untuk menghadapi Husein dengan mengangkat senjata.

Apakah Yazid Terlibat Pembunuhan Husein?

Yazid tidak pernah memerintahkan pegawainya untuk membunuh Husein. Dan ia juga tidak pernah ridha terhadap pembunuhan tersebut. Justru ia menangisi dan bersedih dengan peristiwa itu.

Sejak jauh hari Yazid berupaya meredam perpecahan. Ketika Husein radhiallahu ‘anhuma pergi dari Madinah menuju Mekah karena menolak baiat kepadanya, Yazid menulis surat kepada Abdullah bin Abbas radhiallahu ‘anhuma –sepupu Rasulullah ﷺ-:

“Aku mengetahui banyak orang Timur (maksudnya Irak) mengiming-iminginya dengan khilafah. Engkau memiliki pengetahuan dan pengalaman tentang mereka. jika memang begitu, maka ia telah memutuskan tali persaudaraan. Engkau adalah pembesar dan orang terpandang di tengah keluargamu. Karena itu, cegahlah ia dari tindakan yang memecah belah umat.”

Ibnu Abbas membalas suratnya:

“Aku sungguh berharap perginya Husein (ke Mekah) bukan untuk hal yang tidak kau sukai. Aku tidak akan bosan memberinya nasihat agar persaudaraan terjaga dan pemberontakan terpadamkan.”

Surat ini dinukilkan oleh Abdussyafi bukunya dari Tahdzib Tarikh Ibnu Asakir.

Salah seorang ulama besar Syiah, Murtadha Muthahhari, mengatakan, “Tidak diragukan lagi bahwa penduduk Kufah adalah pendukung Ali, dan yang membunuh Imam al-Husein adalah pendukungnya sendiri.” Perkataan ini termaktub dalam kitab al-Mahamatul Husainiyah, I,129 (al-Khamis, 2014: 255).

Mengapa Yazid Tidak Mencopot Ibnu Ziyad?

Penduduk Irak memiliki karakteristik yang unik. Mereka mudah sekali melakukan pemberontakan dan memprotes kebijakan pemimpin mereka. Di zaman Umar bin al-Khottob, penduduk Bashrah mengkritik gaya kepemimpinan Gubernur Saad bin Abi Waqqash radhiallahu ‘anhu hanya lantaran berprasangka buruk kepadanya. Padahal Saad adalah orang terbaik dari kalangan sahabat Nabi ﷺ. Kemudian penduduk Irak juga turut andil dalam pemberontakan yang mengakibatkan terbunuhnya Amirul Mukminin Utsman bin Affan radhiallahu ‘anhu. Demikian juga revolusi yang hendak mereka gulirkan di zaman Yazid.

Karakter penduduk Irak, apabila dipimpin oleh pemimpin bertangan besi, maka mereka akan tunduk. Kalau pemimpinnya santun dan berlemah lembut terhadap mereka, maka mereka memberontak. Sebelum Ubaidullah bin Ziyad, gubernur Kufah adalah sahabat Rasulullah an-Nu’man bin Basyir radhiallahu ‘anhuma. Di saat itulah mereka menyusun rencana pemberontakan.

Alasan inilah yang membuat Yazid tidak mencopot Ubaidullah bin Ziyad. Yazid khawatir kalau Ubaidullah dicopot, emosi dan keinginan penduduk Kufah untuk memberontak akan terealisasi dengan aksi nyata. Dan sejarah telah membuktikan kebenaran keputusan Yazid. Gerakan at-Tawwabin muncul setelah Yazid meninggal kemudian Ibnu Ziyad dicopot dari Kufah.

Meskipun kita mengetahui bahwa sikap Yazid bin Muawiyah tidak sepakat dengan pembunuhan tersebut, bahkan ia mengecam tindakan Ibnu Ziyad dan menangisi kematian Husein. Kemudian ia juga memuliakan keluarga Husein setelah wafatnya. Namun, tanggung jawab Yazid terletak pada perintah yang kurang jelas kepada Ibnu Ziyad. Langkah apa yang harus diambil Ibnu Ziyad untuk mencegah Husein masuk ke Kufah. Sehingga Ibnu Ziyad tidak berani mengangkat senjata terhadap Husein radhiallahu ‘anhu. Allahu a’lam..


Sekian Dari blogger kami.

Gerakan Tawwabin, Ketika Syiah Menyesali Pengkhiantan Mereka di Karbala

Gerakan Tawwabin, Ketika Syiah Menyesali Pengkhiantan Mereka di Karbala























Ketika Yazid bin Muawiyah wafat pada tahun 64 H, terjadilah kekosongan kepemimpinan. Keadaan pun kacau. Stabilitas negara Islam tengah goyah berhadapan dengan fitnah. Di Hijaz Abdullah bin az-Zubair radhiallahu ‘anhu mengumumkan kekhalifahannya. Dan di Kufah, ada Jaisy at-Tawwabin yang menuntut balas atas syahidnya cucu Rasulullah ﷺ di Karbala.

Gerakan Tawwabin

Kata tawwabin artinya adalah orang-orang yang bertaubat. Mengapa orang-orang yang tergabung dalam gerakan ini menamakan gerakan mereka gerakan tawwabin? Karena mereka menyesal atas pengkhianatan mereka terhadap Husein di Karbala. Mereka menyesal telah mengundangnya ke Kufah, lalu meninggalkannya hingga syahid di sana. Mereka hendak menebus kesalahan tersebut dengan mengobarkan semangat menuntut balas atas kematian cucu Rasulullah ﷺ.

Syaikh Utsman al-Khomis dalam ceramahnya Haqiqatu asy-Syiah menyebutkan bahwa Gerakan at-Tawwabin adalah gerakan yang menghidupkan kembali dakwah Abdullah bin Saba dari beberapa sisi. Ketika Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu menghukum orang-orang yang berlebihan terhadapnya, nyaris dakwah Abdullah bin Saba menghilang. Hingga muncullah Gerakan at-Tawwabin yang disengaja atau tidak menghidupkan kembali dakwah pengagungan Ali bin Abi Thalib dan keturunannya. Menurut Syaikh Utsman, sejak muncul pemikiran Abdullah bin Saba di akhir kekhalifahan Utsman bin Affan hingga munculnya Gerakan Tawwabin, kelompok ini belum dikenal dengan nama kelompok Syiah. Syiah sebagai sebuah sekte baru dikenal pada abad ke-3 H.

Setelah sepakat menuntut balas atas kematian Husein radhiallahu ‘anhu, orang-orang yang tergabung dalam Gerakan Tawwabin mengadakan rapat perdana. Dipimpin oleh Sulaiman bin Shard al-Khuza’i. Agenda rapat adalah menentukan sikap, teknis operasi perlawanan yang akan dilancarkan, dan pembahasan utama dalam pertemuan ini adalah permasalahan taubat dan ampunan. Setelah itu mereka mulai menjadikan simpatisan sipil ini menjadi sebuah pasukan. Jadilah mereka Jaisy at-Tawwabin. Kemudian 4000 personil Jaisy at-Tawwabin pun mulai bergerak. Operasi tersebut dimulai pada bulan Rabiul Awal tahun 65 H.

Pertama-tama mereka mendatangi makam Husein. Mereka menangis, menyatakan taubat, dan menyesali perbuatan mereka. Setelah berkabung selama 1 hari penuh, mereka membulatkan tekad untuk berangkat ke Syam, memerangi Ubaidullah bin Ziyad sebgai orang yang paling bertanggung jawab atas terbunuhnya Husein. Mereka melintasi Sungai Eufrat. Menyusuri sungai tersebut. Hingga tiba di daerah Circesium, di Suriah (al-Kamil fi at-Tarikh, 2/638).

Mereka disambut oleh pimpinan wilayah Circesium, Zafar bin al-Harits al-Kilabi, yang mendukung kekhalifahan Abdullah bin az-Zubair. Zafar menyarankan agar mereka mengajak simpatisan Ibnu az-Zubair bersekutu dalam misi mereka. Namun usulan tersebut mereka tolak. Perjalanan pembalasan dendam pun dilanjutkan (Tarikh ad-Daulah al-Umawiyah, Hal 72 dan al-Kamil fi at-Tarikh, 2/639).

Perang Ainul Wardah Tahun 65 H

Bertemulah orang-orang Syiah ini dengan pasukan bani Umayyah di Ainul Wardah. Sebuah daerah yang terletak di Jazirah hingga mencapai bagian barat laut Shiffin. Peperangan berjalan tidak seimbang, pasukan Umayyah dengan mudah melibas Jaisy at-Tawwabin yang jumlahnya tidak mengimbangi mereka. Tokoh-tokoh mereka pun tewas kecuali Rifa’ah bin Syaddad yang berhasil pulang ke Kufah bersama sebagian kecil dari mereka (Tarikh ad-Daulah al-Umawiyah, Hal 72).

Penutup

Dari beberapa keterangan, Jaisy at-Tawwabin ini bukanlah seperti orang-orang Syiah yang kita kenal pada hari ini –al-Ilmu ‘Indallah-. Peristiwa ini terjadi pada abad pertama hijriyah, yakni pada tahun 65 H. Kemudian menurut penjelasan Syaikh Utsman al-Khomis Syiah menjadi sebuah sekte muncul pada abad ke-3 H. Saat itu orang-orang baru mengenal ini Syiah dan ini Sunni. Ini Huseiniyat (tempat ibadah) Syiah dan ini masjid-masjid Sunni. Ini kitab-kitab Syiah dan ini kitab-kita Sunni. Ini ulama-ulama Syiah dan ini ulama-ulama Sunni. Adapun sebelum zaman ini, belum dikenal istilah demikian.

Adz-Dzahabi mengomentari Sulaiman bin Shard pemimpin Jaisy at-Tawwabin dengan mengatakan, “Dia adalah seorang yang shaleh dan ahli ibadah. Ia tergabung dalam pasukan taubat kepada Allah dari pengkhianatan yang mereka lakukan terhadap Husein asy-syahid. Mereka berangkat menuntut hukum terhadap pembunuh Husein. Mereka menamakan diri dengan Jaisy at-Tawwabin.” (Siyar Alamin Nubala, 3/395).

Imam Ibnu Katsir mengomentari Jaisy at-Tawwabin dengan mengatakan, “Sekiranya tekad dan persekutuan ini ada sebelum Husein tiba di Karbala, niscaya hal ini bermanfaat untuk Husein dan mampu menolongnya. Daripada mereka berkumpul dan baru menyatakan pembelaan terhadapnya setelah 4 tahun (peristiwa Karbala).” (al-Bidayah wa an-Nihayah, 11/697).

Apa yang dinyatakan oleh Imam Ibnu Katsir juga menjadi pertanyaan bagi kita. Dimana keberanian dan keikhlasan mereka menolong Husein, saat peristiwa itu terjadi? Di saat cucu Rasulullah ﷺ berhadapan dengan maut?

Syahidnya Husein Radhiallahu ‘anhu di Padang Karbala

karbala

-Tulisan berikut ini diterjemahkan dari tulisan dan sebagian ceramah Syaikh Utsman al-Khomis, seorang ulama yang terkenal sebagai pakar dalam pembahasan Syiah-.

Pembahasan tentang terbunuhnya cucu Rasulullalllah, asy-syahid Husein bin Ali ‘alaihissalam telah banyak ditulis, namun beberapa orang ikhwan meminta saya agar menulis sebuah kisah shahih yang benar-benar bersumber dari para ahli sejarah. Maka saya pun menulis ringkasan kisah tersebut sebagai berikut –sebelumnya Syaikh telah menulis secara rinci tentang kisah terbunuhnya Husein di buku beliau Huqbah min at-Tarikh-.

Pada tahun 60 H, ketika Muawiyah bin Abu Sufyan wafat, penduduk Irak mendengar kabar bahwa Husein bin Ali belum berbaiat kepada Yazid bin Muawiyah, maka orang-orang Irak mengirimkan utusan kepada Husein yang membawakan baiat mereka secara tertulis kepadanya. Penduduk Irak tidak ingin kalau Yazid bin Muawiyah yang menjadi khalifah, bahkan mereka tidak menginginkan Muawiyah, Utsman, Umar, dan Abu Bakar menjadi khalifah, yang mereka inginkan adalah Ali dan anak keturunannya menjadi pemimpin umat Islam. Melalui utusan tersebut sampailah 500 pucuk surat lebih yang menyatakan akan membaiat Husein sebagai khalifah.

Setelah surat itu sampai di Mekah, Husein tidak terburu-buru membenarkan isi surat itu. Ia mengirimkan sepupunya, Muslim bin Aqil, untuk meneliti kebenaran kabar baiat ini. Sesampainya Muslim di Kufah, ia menyaksikan banyak orang yang sangat menginginkan Husein menjadi khalifah. Lalu mereka membaiat Husein melalui perantara Muslim bin Aqil. Baiat itu terjadi di kediaman Hani’ bin Urwah.

Kabar ini akhirnya sampai ke telinga Yazid bin Muawiyah di ibu kota kekhalifahan, Syam, lalu ia mengutus Ubaidullah bin Ziyad menuju Kufah untuk mencegah Husein masuk ke Irak dan meredam pemberontakan penduduk Kufah terhadap otoritas kekhalifahan. Saat Ubaidullah bin Ziyad tiba di Kufah, masalah ini sudah sangat memanas. Ia terus menanyakan perihal ini hingga akhirnya ia mengetahui bahwa kediaman Hani’ bin Urwah adalah sebagai tempat berlangsungnya pembaiatan dan di situ juga Muslim bin Aqil tinggal.

Ubaidullah menemui Hani’ bin Urwah dan menanyakannya tentang gejolak di Kufah. Ubaidullah ingin mendengar sendiri penjelasan langsung dari Hani’ bin Urwah walaupun sebenarnya ia sudah tahu tentang segala kabar yang beredar. Dengan berani dan penuh tanggung jawab terhadap keluarga Nabi (Muslim bin Aqil adalah keponakan Nabi), Hani’ bin Urwah mengatakan, “Demi Allah, sekiranya (Muslim bin Aqil) bersembunyi di kedua telapak kakiku ini, aku tidak akan memberitahukannya kepadamu!” Ubaidullah lantas memukulnya dan memerintahkan agar ia ditahan.

Mendengar kabar bahwa Ubaidullah memenjarakan Hani’ bin Urwah, Muslim bin Aqil bersama 4000 orang yang membaiatnya mengepung istana Ubaidullah bin Ziyad. Pengepungan itu terjadi di siang hari.

Ubaidullah bin Ziayd merespon ancaman Muslim dengan mengatakan akan mendatangkan sejumlah pasukan dari Syam. Ternyata gertakan Ubaidullah membuat takut Syiah (pembela) Husein ini. Mereka pun berkhianat dan berlari meninggalkan Muslim bin Aqil hingga tersisa 30 orang saja yang bersama Muslim bin Aqil, dan belumlah matahari terbenam hanya tersisa Muslim bin Aqil seorang diri.

Muslim pun ditangkap dan Ubaidullah memerintahkan agar ia dibunuh. Sebelum dieksekusi, Muslim meminta izin untuk mengirim surat kepada Husein, keinginan terakhirnya dikabulkan oleh Ubaidullah bin Ziyad. Isi surat Muslim kepada Husein adalah “Pergilah, pulanglah kepada keluargamu! Jangan engkau tertipu oleh penduduk Kufah. Sesungguhnya penduduk Kufah telah berkhianat kepadamu dan juga kepadaku. Orang-orang pendusta itu tidak memiliki pandangan (untuk mempertimbangkan masalah)”. Muslim bin Aqil pun dibunuh, padahal saat itu adalah hari Arafah.

Husein berangkat dari Mekah menuju Kufah di hari tarwiyah. Banyak para sahabat Nabi menasihatinya agar tidak pergi ke Kufah. Di antara yang menasihatinya adalah Abdullah bin Abbas, Abdullah bin Umar, Abdullah bin Zubair, Abu Said al-Khudri, Abdullah bin Amr, saudara tiri Husein, Muhammad al-Hanafiyah dll.

Abu Said al-Khudri radhiallahu ‘anhu mengatakan, “Sesungguhnya aku adalah seorang penasihat untukmu, dan aku sangat menyayangimu. Telah sampai berita bahwa orang-orang yang mengaku sebagai Syiahmu (pembelamu) di Kufah menulis surat kepadamu. Mereka mengajakmu untuk bergabung bersama mereka, janganlah engkau pergi bergabung bersama mereka karena aku mendengar ayahmu –Ali bin Abi Thalib- mengatakan tentang penduduk Kufah, ‘Demi Allah, aku bosan dan benci kepada mereka, demikian juga mereka bosan dan benci kepadaku. Mereka tidak memiliki sikap memenuhi janji sedikit pun. Niat dan kesungguhan mereka tidak ada dalam suatu permasalahan (mudah berubah pen.). Mereka juga bukan orang-orang yang sabar ketika menghadapi pedang (penakut pen.)’.

Abdullah bin Umar radhiallahu ‘anhu mengatakan, “Aku hendak menyampaikan kepadamu beberapa kalimat. Sesungguhnya Jibril datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kemudian memberikan dua pilihan kepada beluai antara dunia dan akhirat, maka beliau memilih akhirat dan tidak mengiginkan dunia. Engkau adalah darah dagingnya, demi Allah tidaklah Allah memberikan atau menghindarkan kalian (ahlul bait) dari suatu hal, kecuali hal itu adalah yang terbaik untuk kalian”. Husein tetap enggan membatalkan keberangkatannya. Abdullah bin Umar pun menangis, lalu mengatakan, “Aku titipkan engkau kepada Allah dari pembunuhan”.

Setelah meneruskan keberangkatannya, datanglah kabar kepada Husein tentang tewasnya Muslim bin Aqil. Husein pun sadar bahwa keputusannya ke Irak keliru, dan ia hendak pulang menuju Mekah atau Madinah, namun anak-anak Muslim mengatakan, “Janganlah engkau pulang, sampai kita menuntut hukum atas terbunuhnya ayah kami”. Karena menghormati Muslim dan berempati terhadap anak-anaknya, Husein akhirnya tetap berangkat menuju Kufah dengan tujuan menuntut hukuman bagi pembunuh Muslim.

Bersamaan dengan itu Ubaidullah bin Ziyad telah mengutus al-Hurru bin Yazid at-Tamimi dengan membawa 1000 pasukan untuk menghadang Husein agar tidak memasuki Kufah. Bertemulah al-Hurru dengan Husein di Qadisiyah, ia mencoba menghalangi Husein agar tidak masuk ke Kufah. Husein mengatakan, “Celakalah ibumu, menjauhlah dariku”. Al-Hurru menjawab, “Demi Allah, kalau saja yang mengatakan itu adalah orang selainmu akan aku balas dengan menghinanya dan menghina ibunya, tapi apa yang akan aku katakan kepadamu, ibumu adalah wanita yang paling mulia, radhiallahu ‘anha”.

Saat Husein menginjakkan kakinya di daerah Karbala, tibalah 4000 pasukan lainnya yang dikirim oleh Ubaidullah bin Ziyad dengan pimpinan pasukan Umar bin Saad. Husein mengatakan, “Apa nama tempat ini?” Orang-orang menjawab, “Ini adalah daerah Karbala.” Kemudian Husein menanggapi, “Karbun (musibah) dan balaa’ (bencana).”

Melihat pasukan dalam jumlah yang sangat besar, Husein radhiallahu ‘anhu menyadari tidak ada peluang baginya. Lalu ia mengatakan, “Aku ada dua alternatif pilihan, (1) kalian mengawal (menjamin keamananku) pulang atau (2) kalian biarkan aku pergi menghadap Yazid di Syam.

Engkau pergi menghadap Yazid, tapi sebelumnya aku akan menghadap Ubaidullah bin Ziyad terlebih dahulu kata Umar bin Saad. Ternyata Ubadiullah menolak jika Husein pergi menghadap Yazid, ia menginginkan agar Husein ditawan menghadapnya. Mendengar hal itu Husein menolak untuk menjadi tawanan.

Terjadilah peperangan yang sangat tidak imbang antara 73 orang di pihak Husein berhadapan dengan 5000 pasukan Irak. Kemudian 30 orang pasukan Irak dipimpin oleh al-Hurru bin Yazid at-Tamimi membelot dan bergabung dengan Husein. Peperangan yang tidak imbang itu menewaskan semua orang yang mendukung Husein, hingga tersisa Husein seorang diri. Orang-orang Kufah merasa takut dan segan untuk membunuhnya, masih tersisa sedikit rasa hormat mereka kepada darah keluarga Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Namun ada seorang laki-laki yang bernama Amr bin Dzi al-Jausyan –semoga Allah menghinakannya- melemparkan panah lalu mengenai Husein, Husein pun terjatuh lalu orang-orang mengeroyoknya, Husein akhirnya syahid, semoga Allah meridhainya. Ada yang mengatakan Amr bin Dzi al-Jausyan-lah yang memotong kepala Husein sedangkan dalam riwayat lain, orang yang menggorok kepala Husein adalah Sinan bin Anas, Allahu a’lam. Yang perlu pembaca ketauhi Ubaidullah bin Ziyad, Amr bin Dzi al-Jausyan, dan Sinan bin Anas adalah pembela Ali (Syiah nya Ali) di Perang Shiffin.

Ini adalah sebuah kisah pilu yang sangat menyedihkan, celaka dan terhinalah orang-orang yang turut serta dalam pembunuhan Husein dan ahlul bait yang bersamanya. Bagi mereka kemurkaan dari Allah. Semoga Allah merahmati dan meridhai Husein dan orang-orang yang tewas bersamanya. Di
antara ahlul bait yang terbunuh bersama Husein adalah:

–Anak-anak Ali bin Abi Thalib: Abu Bakar, Muhammad, Utsman, Ja’far, dan Abbas.
–Anak-anak Husein bin Ali: Ali al-Akbar dan Abdullah.
–Anak-anak Hasan bin Ali: Abu Bakar, Abdullah, Qosim.
–Anak-anak Aqil bin Abi Thalib: Ja’far, Abdullah, Abdurrahman, dan Abdullah bin Muslim bin Aqil.
–Anak-anak dari Abdullah bin Ja’far bin Abi Thalib: ‘Aun dan Muhammad.

Dari Ummu Salamah bawasanya Jibril datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam “…Jibril mengatakan, “Apakah engkau mencintai Husein wahai Muhammad?” Nabi menjawab, “Tentu” Jibril melanjutkan, “Sesungguhnya umatmu akan membunuhnya. Kalau engkau mau, akan aku tunjukkan tempat dimana ia akan terbunuh.” Kemudian Nabi diperlihatkan tempat tersebut, sebuah tempat yang dinamakan Karbala. (HR. Ahmad dalam Fadhailu ash-Shahabah, ia mengatakan hadis ini hasan). Adapun berita-berita bahwa langit menurunkan hujan darah, dinding-dinding berdarah, batu yang diangkat lalu di bawahnya terdapat darah, dll. karena sedih dengan tewasnya Husein, berita-berita ini tidak bersumber dari rujukan yang shahih.

Benarkah Sikap Husein ‘alaihissalam Pergi ke Irak?

Tidak ada kemaslahatan dalam hal dunia maupun akhirat dari sikap Husein ‘alaihissalam yang keluar menuju Irak. Oleh karena itu, banyak sahabat Nabi yang berusaha mencegahnya dan melarangnya berangkat ke Irak. Husein pun menyadari hal itu dan ia sempat hendak pulang, namun anak-anak Muslim bin Aqil memintanya mengambil sikap atas terbunuhnya ayah mereka. Husein dengan penuh tanggung jawab tidak lari dari permasalahan ini. Dari peristiwa ini tampaklah kezaliman dan kesombongan orang-orang Kufah (Syiah-nya Husein) terhadap ahlul bait Nabi ‘alaihumu ash-shalatu wa salam.

Sekiranya Husein ‘alaihissalam menuruti nasihat para sahabat tentu tidak terjadi peristiwa ini, akan tetapi Allah telah menetapkan takdirnya. Terbunuhnya Husein ini tentu saja tidak sebesar peristiwa terbunuhnya para Nabi, semisal dipenggalnya kepala Nabi Yahya oleh seorang raja, karena calon istri raja tersebut meminta kepala Nabi Yahya bin Zakariya sebagai mahar pernikahan. Demikian juga dibunuhnya Nabi Zakariya oleh Bani Israil, dan nabi-nabi lainnya. Demikian juga dengan dibunuhnya Umar dan Utsman. Semua kejadian itu lebih besar dibanding dengan peristiwa dibunuhnya Husein ‘alaihissalam.

 Bagaimana Sikap Kita Terhadap Peristiwa Karbala?

Tidak diperbolehkan bagi umat Islam, apabila disebutkan tentang kematian Husein, maka ia meratap dengan memukul-mukul pipi atau merobek-robek pakaian, atau bentuk ratapan yang semisalnya. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Bukan termasuk golongan kami, orang-orang yang menampar-nampar pipi dan merobek saku bajunya.” (HR. Bukhari).

Seorang muslim yang baik, apabila mendengar musibah ini hendaknya ia mengatakan sebuah kalimat yang Allah tuntunkan dalam firman-Nya,

الَّذِينَ إِذَا أَصَابَتْهُم مُّصِيبَةٌ قَالُواْ إِنَّا لِلّهِ وَإِنَّا إِلَيْهِ رَاجِعونَ

“Orang-orang yang apabila mereka ditimpa musibah, mereka mengtakan sesungguhnya kami adalah milik Allah dan kepada-Nya lah kami akan kembali.” (QS. Al-Baqarah: 155)

Tidak pernah diriwayatkan bahwa Ali bin Husein atau putranya Muhammad, atau Ja’far ash-Shadiq atau Musa bin Ja’far radhiallahu ‘anhum, para imam dari kalangan ahlul bait maupun selain mereka pernah memukul-mukul pipi mereka, atau merobek-robek pakaian atau berteriak-teriak, dalam rangka meratapi kematian Husein. Tirulah mereka kalau engkau tidak bisa serupa dengan mereka, karena meniru orang-orang yang mulia itu adalah kemuliaan.

Tidak seperti orang-orang yang mengaku Syiah (pembela) Husein, Syiahnya ahlul bait Nabi pada hari ini, mereka merusak anggota tubuh, memukul kepala dan tubuh dengan pedang dan rantai, mereka katakan kami bangga menyucurkan darah bersama Husein. Demi Allah, sekiranya mereka berada pada hari dimana Husein terbunuh mereka akan turut serta dalam kelompok pembunuh Husein karena mereka adalah orang-orang yang selalu berhianat.

Posisi Yazid Dalam Peristiwa Ini

Dalam permasalahan ini, Yazid sama sekali tidak turut campur. Aku mengakatakan hal ini bukan untuk membela Yazid tetapi hanya untuk mendudukan permasalahan yang sebenarnya. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan, “Yazid bin Muawiyah tidak memerintahkan untuk membunuh Husein. Ini adalah kesepatakan para ahli sejarah. Yazid hanya memerintahkan Ubaidullah bin Ziyad agar mencegah Husein untuk memasuki wilayah Irak. Ketika Yazid mendengar tewasnya Husein, Yazid pun terkejut dan menangis. Setelah itu Yazid memuliakan keluarga Husein dan mengamankan anggota keluarga yang tersisa sampai ke daerah mereka. Adapun riwayat yang menyatakan bahwa Yazid merendahkan perempuan-perempuan ahlul bait lalu membawa mereka ke Syam, ini adalah riwayat yang batil. Bani Umayyah (keluarga Yazid) selalu memuliakan Bani Hasyim (keluarga Rasulullah).

Sebelumnya Yazid telah mengirim surat kepada Husein ketika di Mekah, ternyata saat surat itu tiba Husein telah berangkat menuju Irak. Surat itu berisikan syair dari Yazid untuk melunakkan hati Husein agar tidak berangkat ke Irak dan Yazid juga menyatakan kedekatan kekerabatan mereka. Bibi Yazid, Ummu Habibah adalah istri Rasulullah dan kakek (Jawa: mbah buyut) Yazid dan Husein adalah saudara kembar.

Kepala Husein

Tidak ada riwayat yang shahih yang menyatakan bahwa kepala Husein dikirim kepada Yazid di Syam. Husein tewas di Karbala dan kepalanya didatangkan kepada Ubaidullah bin Ziyad. Tidak diketahui dimana makamnya dan makam kepalanya.

Wallahu Ta’ala a’la wa a’lam, wa shallallahu ‘ala nabiyyina muhammad wa ‘ala aalihi wa shohbihi ajma’in.
 

Tentara Terakhir Yang Menjadi Benteng Masjid al-Aqsha

Tentara Terakhir Yang Menjadi Benteng Masjid al-Aqsha

Selama empat abad, Palestina berada di bawah kekuasaan Turki Utsmani (Ottoman). Sampai akhirnya Inggris mengambil kendali atas wilayah tersebut. Ottoman pun telah melakukan segala upaya, berjuang keras mempertahankan Jerusalem dari serangan Inggris, namun hal itu tidak membuahkan hasil yang diinginkan. Hingga diperkirakan 25.000 tentara mereka tewas. Akhirnya, mereka tidak punya pilihan selain menyerah. Gubernur Ottoman menulis dekrit berikut:

Photo credit: Phil McKenzie

Due to the severity of the siege of the city and the suffering that this peaceful country has endured from your heavy guns; and for fear that these deadly bombs will hit the holy places, we are forced to hand over to you the city.”

Signed Izzat the Mutasarrif of Jerusalem

Karena gencarnya pengepungan dan penderitaan yang dipikul negeri ini disebabkan senjata berat Anda; dan kekhawatiran akan bom-bom mematikan yang bisa meluluh-lantakkan tempat-tempat suci, kami terpaksa menyerahkan kota ini kepada Anda.

Yang menandatangani Izzat yang Mutasarrif Yerusalem.

Pada 11 Desember 1917, dengan berjalan kaki, Jenderal Inggris Edmund Allenby memasuki Kota Jerusalem. Kota suci itu akan berada di bawah mandat Inggris dan setahun kemudian akan jatuh di bawah pendudukan Israel. Sebuah negara Yahudi yang baru saja terbentuk.

Ottoman Army 3

Berikut adalah beberapa foto dari tentara Ottoman di Masjid Al Aqsa sebelum Inggris mengambil kendali atas kota suci tersebut:

Ottoman Army 4
Ottoman Army 1
Ottoman Army 5
Foto di bawah ini menjelaskan kepada kita mana yang dimaksud dengan Masjid al-Aqsha:

Ottoman Army 6
Simak juga artikel tentang sejarah Masjid al-Aqsha: Mengenal Masjid al-Aqsha


Sekian Dari Blogger saya, Semoga Membantu anda 

Mengenal Masjid al-Aqsha








on March 2, 2010 in Jerusalem, Israel.

Masjid al-Aqsha adalah salah satu di antara tiga masjid mulia yang memiliki keutamaan besar bagi umat Islam. Keutamaan tersebut langsung dijelaskan oleh Allah dalam ayat-ayat Alquran dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sabda-sabda beliau.

Secara historis, masjid kedua yang dibangun di muka bumi ini juga memiliki peran sentral dalam perkembangan peradaban manusia, karena sejak dahulu tempat ibadah ini menjadi tempat tersebarnya syiar-syiar para nabi ‘alaihim ash-shalatu wa salam. Dan ia berada di Kota Jerusalem, sebuah kota yang menyaksikan begitu banyak nabi yang Allah utus dan berdakwah di sana, sebuah kota yang menyediakan air yang diminum oleh para utusan Allah, udara yang mereka hirup, dan tanah tempat mereka berpijak dan merebahkan tubuh mereka yang mulia.

Yang paling utama dari para nabi dan rasul itu adalah khalilu-r Rahman, Nabi Ibrahim ‘alaihissalam, kemudian Nabi Ishaq, Ya’qub, Dawud, Sulaiman, Musa, Harun, Zakariya, Yahya, Isa ‘alaihim ash-shalatu wa salam. Nabi Yunus ‘alaihissalam pernah membebaskannya dari orang-orang yang ingkar kepada Allah, Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam berziarah ke sana dalam peristiwa isra mi’raj, dan nabi-nabi lainnya yang tidak bisa disebutkan satu per satu.

Namun, di balik berbagai keutamaan yang dimilikinya tidak sedikit umat Islam yang belum mengenalnya dan tahu tentang sejarahnya. Mudah-mudahan artikel pendek ini, bisa memberikan sedikit informasi terhadap salah satu masjid yang sangat dicintai umat Islam ini.

Nama-Nama Masjid al-Aqsha

Sebelum jauh mengenal tentang Masjid al-Aqsha, hal pertama yang hendaknya kita ketahui adalah nama-namanya.

Pertama, Masjid al-Aqsha. Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam firman-Nya menyebut nama masjid ini dengan Masjid al-Aqsha.

سُبْحَانَ الَّذِي أَسْرَى بِعَبْدِهِ لَيْلا مِنَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ إِلَى الْمَسْجِدِ الأَقْصَى الَّذِي بَارَكْنَا حَوْلَهُ لِنُرِيَهُ مِنْ آَيَاتِنَا إِنَّه هُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ

“Maha Suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Al Masjidil Haram ke Al Masjidil Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS. Al-Isra: 1)

Kata al-aqsha artinya adalah jauh. Disebut jauh, karena letaknya yang jauh dari Masjid al-Haram (masjid pertama di muka bumi).

Kedua, al-Ardhu al-Mubarakah (tanah yang penuh keberkahan). Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

وَلِسُلَيْمَانَ الرِّيحَ عَاصِفَةً تَجْرِي بِأَمْرِهِ إِلَى الأَرْضِ الَّتِي بَارَكْنَا فِيهَا وَكُنَّا بِكُلِّ شَيْءٍ عَالِمِينَ


“Dan (telah Kami tundukkan) untuk Sulaiman angin yang sangat kencang tiupannya yang berhembus dengan perintahnya ke negeri yang kami telah memberkatinya. Dan adalah Kami Maha Mengetahui segala sesuatu.” (QS. Al-Anbiya: 81)

Mengapa dikatakan penuh keberkahan? Karena di tempat ini banyak diutus nabi dan rasul dan Allah memberkahi penduduknya, tumbuh-tumbuhannya, dan buah-buahannya.

Ketiga, Baitul Maqdis (tempat suci). Dari Jabir bin Abdullah radhiallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لما كذبتني قريش، قمت في الحجر فجلا الله لي بيت المقدس

“Ketika orang-orang Quraisy mendustakan aku, aku berdiri di Hijr (Hijr Ismail) kemudian Allah memperjalankan aku ke Baitul Maqdis…” (Muttafaqun ‘alaih)

Boleh juga menamakan masjid ini dengan menyebutnya Masjid al-Aqsha al-Mubarak. Adapun menamakannya dengan al-Haram asy-Syarif adalah sesuatu yang tidak tepat. Mengapa? Karena di tempat tersebut diperbolehkan berburu, menebang pohon, dan mengambil barang temuan yang semua ini dilarang dilakukan di Masjid al-Haram dan Masjid an-Nabawi. Larangan-larangan di Masjid al-Aqsha sama halnya dengan larangan di masjid-masjid lainnya, seperti: larangan transaksi jual-beli, mengangkat suara, dll.

Manakah Yang Disebut Masjid al-Aqsha?

Di sini banyak sekali terjadi kekeliruan, ketika disebut Masjid al-Aqsha banyak orang menyangka bahwa Masjid al-Aqsha adalah salah satu bangunan yang ada di sana. Ada yang mengatakan Masjid al-Aqsha adalah bangunan yang memiliki kubah berwarna kehitaman atau perunggu. Pendapat-pendapat yang ada tersebut seakan saling berbenturan dan ada yang mengatakan pencitraan Qubbatu Shakhrakh (Dome of The Rock, bangunan dengan kubah berwarna kuning) sebagai Maasjid al-Aqsha adalah konspirasi Yahudi agar umat Islam tidak mengenal Masjid al-Aqsha. Benarkah demikian?

Pendapat yang insya Allah lebih tepat adalah Masjid al-Aqsha al-Mubarak merupakan nama bagi seluruh daerah yang dipagari, yang di dalamnya terdapat Qubbatu Shakhrakh, al-Jami’ al-Qibli (inti dari Masjid al-Aqsha), dan Musholla al-Marwani. Untuk lebih jelasnya, lihat gambar di bawah ini:

Ket: 1. al-Jami' al-Qibli 2. Qubbatu Shakhrakh 3. Mushalla al-Marwani 4. Tembok ratapan Yahudi
 Ket:
1. al-Jami’ al-Qibli
2. Qubbatu Shakhrakh
3. Mushalla al-Marwani
4. Tembok ratapan Yahudi

Mudah-mudahan sekarang jelas bagi kita mana yang disebut dengan Masjid al-Aqsha al-Mubarak. 

Luas Masjid al-Aqsha

Luas Masjid al-Aqsha adalah 144 dunum (satu dunum = 100 m2). Luas Masjid al-Aqsha ini tidak bertambah dan berkurang dalam kurun sejarahnya, berbeda dengan luas Masjid al-Haram dengan Masjid an-Nabawi yang terus mengalami perluasan. Barangsiapa yang shalat dalam komplek Masjid al-Aqsha ini, baik di bawah pepohonan yang ada di sana, teras-teras bangunan, di Qubbatu Shakhrakh, atau di Jami’ al-Qibli, maka pahala shalatnya akan dilipatgandakan. Sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, dari Abi Dzar radhiallahu ‘anhu, ia mengatakan, “Kami (para sahabat) sedang duduk-duduk bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu kami membicarakan mana yang lebih utama Masjid Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam (Masjid Nabawi pen.) ataukah Masjid Baitul Maqdis.” Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

صلاة في مسجدي هذا أفضل من أربع صلوات فيه ولنعم المصلى وليوشكن أن لا يكون للرجل مثل شطن فرسه من الأرض حيث يرى منه بيت المقدس خير له من الدنيا جميعا” أو قال: “خير من الدنيا وما فيها”


“Satu shalat di masjidku lebih utama dari empat shalat di Masjid al-Aqsha, dan Masjid al-Aqsha adalah tempat shalat yang baik. Dan hampir tiba suatu masa, dimana seseorang memiliki tanah seukuran tali kekang kudanya, dari tempat itu terlihat Baitul-Maqdis, hal itu lebih baik baginya dari dunia seluruhnya atau beliau mengatakan lebih baik dari dunia dan segala yang ada di dalamnya.” (HR. Hakim dan dishahihkan oleh adz-Dzahabi) 


Pembangunan Masjid al-Aqsha

Masjid al-Aqsha adalah masjid kedua yang dibangun di muka bumi ini. Tidak ada satu bentuk tempat ibadah pun yang ada di muka bumi saat Masjid al-Haram dan Masjid al-Aqsha dibangun. Para ulama berpendapat masjid ini dibangun oleh para malaikat atau oleh Nabi Adam ‘alaihissalam. Namun pendapat yang paling kuat adalah Masjid al-Aqsha dibangun oleh Nabi Adam. Jarak waktu pembangunan Masjid al-Haram dengan Masjid al-Aqsha adalah 40 tahun. Dalam Shahih Muslim diriwayatkan sebuah hadits dari Abu Dzar al-Ghifari radhiallahu ‘anhu, ia mengatakan,

 يا رسول الله: أي مسجد وُضِع في الأرض أولا؟ قال: المسجد الحرام، قلت: ثم أي؟ قال: المسجد الأقصى، قلت: كم بينهما؟ قال: أربعون سنة، وأينما أدركتك الصلاة فصل، فهو مسجد”

“Wahai Rasulullah, masjid manakah yang pertama kali dibangun di muka bumi?” Beliau menjawab, “Masjid al-Haram.” Aku kembali bertanya, “Kemudian?” Beliau menjawab, “Masjid al-Aqsha.” Kutanya lagi, “Berapa tahunkah jarak pembangunan keduanya?” Beliau kembali menjawab, “40 tahun. Dimanapun engkau menjumpai waktu shalat, maka shalatlah, karena tempat (yang engkau jumpai itu) adalah masjid.”

Saat banjir besar yang melanda bumi di masa Nabi Nuh, masih bisa dijumpai sisa-sisa bangunan Masjid al-Aqsha yang dibangun oleh Nabi Adam.

Ibnu Hisyam dalam kitab at-Tijan fi Muluki-l Hamir mengatakan, “Setelah Adam ‘alaihissalam membangun Ka’bah, Allah Ta’ala memerintahkannya untuk menempuh perjalanan ke Baitul Maqdis. Jibril mengawasi (atau memperhatikan) bagaimana Baitul Maqdis itu dibangun. Setelah Nabi Adam selesai membangunnya, beliau menunaikan ibadah di dalamnya.”

Nabi Ibrahim ‘alaihissalam tinggal dan memakmurkan Masjid al-Aqsha sekitar tahun 2000 SM, kemudian dilanjutkan anak-anak beliau dari kalangan para nabi, yakni Nabi Ishaq dan Nabi Ya’qub ‘alaihimassalam. Pada sekitar tahun 1000 SM, dilanjutkan oleh Nabi Sulaiman ‘alaihissalam. Dalam Sunan Ibnu Majah diriwayat sebuah hadits dari Abdullah bin Amr radhiallahu ‘anhuma bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لَمَّا فَرَغَ سُلَيْمَانُ بْنُ دَاوُدَ مِنْ بِنَاءِ بَيْتِ الْمَقْدِسِ سَأَلَ اللَّهَ ثَلَاثًا: حُكْمًا يُصَادِفُ حُكْمَهُ، وَمُلْكًا لَا يَنْبَغِي لَأَحَدٍ مِنْ بَعْدِهِ، وَأَلَّا يَأْتِيَ هَذَا الْمَسْجِدَ أَحَدٌ لَا يُرِيدُ إِلَّا الصَّلَاةَ فِيهِ إِلَّا خَرَجَ مِنْ ذُنُوبِهِ كَيَوْمِ وَلَدَتْهُ أُمُّهُ” فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: “أَمَّا اثْنَتَانِ فَقَدْ أُعْطِيَهُمَا، وَأَرْجُو أَنْ يَكُونَ قَدْ أُعْطِيَ الثَّالِثَةَ

“Ketika Nabi Sulaiman merampungkan pembangunan Baitul Maqdis, beliau memohon kepada Allah tiga permintaan: (1) Memberi putusan hukum yang sesuai dengan hukum Allah, (2) Diberikan kerajaan yang tidak patut dimiliki oleh seorang pun setelah dirinya, (3) dan agar tak seorang pun yang datang ke Masjid al-Aqsha dengan keinginan menunaikan shalat di dalamnya, kecuali dihapuskan segala kesalahannya, (sehingga ia suci) seperti saat hari kelahirannya.” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melanjutkan, “Permintaan pertama dan kedua telah diberikan, dan aku berharap yang ketiga pun Allah kabulkan.” (HR. Ibnu Majah, no. 1408. Al-Albani mengatakan hadits ini shahih).

Secara tekstual, kita dapati hadits ini seolah-olah bertentangan dengan pendapat pertama yang mengatakan bahwa Nabi Adam-lah yang membangun Masjid al-Aqsha bukan Nabi Sulaiman. Para ulama, seperti Ibnul Jauzi, al-Qurthubi, dan selain keduanya menjelaskan bahwa yang dimaksud pembangunan oleh Nabi Sulaiman adalah perbaikan bukan membangunnya dari awal, sebagaimana Nabi Ibrahim membangun ulang Masjid al-Haram setelah Nabi Adam membangunnya pertama kali. Hal ini dikarenakan terdapat kerusakan yang diakibatkan banjir pada zaman Nabi Nuh.

Di saat Umar bin al-Khattab mengembalikan masjid ini ke pangkuan cahaya tauhid pada tahun 15 H/636 M, beliau radhiallahu ‘anhu membangun Jami’ al-Qibli sebagai inti dari Masjid al-Aqsha. Kemudian di masa kekuasaan Khalifah Bani Umayyah, Khalifah Abdul Malik bin Marwan, beliau membangun Qubbatu Shakhrakh (Dome of The Rock) dan pada masa Bani Umayyah juga Jami’ al-Qibli dan komplek Masjid al-Aqsha terus diperbaiki, setidaknya perbaikan terus berlangsung selama 30 tahun, mulai dari tahun 66 H/ 685 M – 96 H/715 M. Perbaikan itu membentuk bangunan Masjid al-Aqsha al-Mubarak seperti yang kita lihat saat ini.

Mengenal Masjid al-Aqsha (2.2)

Keutamaan Masjid al-Aqsha

Pertama, keutamaan Masjid al-Aqsha bukanlah suatu rahasia yang tersembunyi, keutamaannya begitu masyhur walau bagi orang awam sekalipun. Siapa yang tidak tahu, kalau ia adalah kiblat umat Islam sebelum Ka’bah al-Musyarrafah? Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma mengatakan,

كان رسول الله يصلي وهو بمكة نحو بيت المقدس والكعبة بين يديه وبعدما هاجر إلى المدينة ستة عشر شهرا ثم صرف إلى الكعبة

“Dahulu Rasulullah shalat di Mekah dengan menghadap Baitul Maqdis dan Ka’bah beliau posisikan di hadapannya. Setelah 16 bulan dari hijrah beliau ke Madinah, beliau shalat dengan menghadap Ka’bah.” (HR. Ahmad).

Kedua, keutamaan lainnya yang sangat dikenal oleh umat Islam adalah Masjid al-Aqsha merupakan tempat isra Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Allah Ta’ala berfirman,

سُبْحَانَ الَّذِي أَسْرَى بِعَبْدِهِ لَيْلًا مِنَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ إِلَى الْمَسْجِدِ الْأَقْصَى الَّذِي بَارَكْنَا حَوْلَهُ لِنُرِيَهُ مِنْ آيَاتِنَا إِنَّهُ هُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ

“Maha Suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Al Masjidil Haram ke Al Masjidil Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS. Al-Isra: 1)

Dan pada momen isra itulah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjadi imam shalat bagi para nabi. hal ini menunjukkan betapa berkahnya tempat ini.

Ketiga, al-Aqsha adalah permukaan bumi yang dipilih Allah menjadi tempat landasan dari bumi menuju sidratul muntaha (mi’raj).
 
عن أنس بن مالك رضي الله عنه أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال: “أُتِيتُ بِالْبُرَاقِ -وَهُوَ دَابَّةٌ أَبْيَضُ طَوِيلٌ فَوْقَ الْحِمَارِ وَدُونَ الْبَغْلِ يَضَعُ حَافِرَهُ عِنْدَ مُنْتَهَى طَرْفِهِ– قَالَ: فَرَكِبْتُهُ حَتَّى أَتَيْتُ بَيْتَ الْمَقْدِسِ -قَالَ- فَرَبَطْتُهُ بِالْحَلْقَةِ الَّتِى يَرْبِطُ بِهِ الأَنْبِيَاءُ -قَال – ثُمَّ دَخَلْتُ الْمَسْجِدَ فَصَلَّيْتُ فِيهِ رَكْعَتَيْنِ ثُمَّ خَرَجْتُ فَجَاءَنِى جِبْرِيلُ عَلَيْهِ السَّلاَمُ بِإِنَاءٍ مِنْ خَمْرٍ وَإِنَاءٍ مِنْ لَبَنٍ فَاخْتَرْتُ اللَّبَنَ فَقَالَ جِبْرِيلُ صلى الله عليه وسلم اخْتَرْتَ الْفِطْرَةَ. ثُمَّ عَرَجَ بِنَا إِلَى السَّمَاءِ


Dari Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Dibawakan kepadaku Buraq. Ia adalah hewan tunggangan berwarna putih, lebih tinggi dari keledai dan lebih pendek dari bighal. Ada tanda di setiap ujungnya.” Beliau melanjutkan, “Aku mengikat Buraq itu di salah satu pintu Baitul Maqdis, tempat dimana para nabi mengikat hewan tunggangan mereka. Kemudian aku masuk ke dalamnya dan shalat dua rakaat. Setelah itu aku keluar dari masjid, lalu Jibril mendatangiku dengan membawa bejana yang berisi khamr dan susu. Aku memilih yang berisi susu, lalu Jibril shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, ‘Engkau telah memilih fitrah’. Setelah itu, kami pun mi’raj menuju langit.” (HR. Muslim)

Seandainya Allah menakdirkan, mi’raj dilakukan dari Masjid al-Haram pastilah Allah mampu melakukannya, akan tetapi Allah menetapkan agar Nabi dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam mi’raj dari Masjid al-Aqsha, agar kaum muslimin tahu kedudukan masjid ini dan agar masjid tersebut memiliki tempat istimewa di hati-hati umat Islam.

Keempat, Masjid al-Aqsha al-Mubarak adalah di antara tiga masjid yang boleh diniatkan secara khusus untuk mengunjunginya.

عن أبي هريرة رضي الله عنه عن النبي صلى الله عليه وسلم قال: “لا تُشَدُّ الرِّحَالُ إِلا إِلَى ثَلاثَةِ مَسَاجِدَ: الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ، وَمَسْجِدِالرَّسُولِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَمَسْجِدِ الأَقْصَى

Dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidak boleh bersengaja melakukan perjalanan (untuk beribadah) kecuali ketiga masjid: Masjid al-Haram, Masjid Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan Masjid al-Aqsha.” (HR. Bukhari).

Pembakaran Masjid al-Aqsha

Peristiwa terbakarnya Masjid al-Aqsha adalah buah dari berkuasanya orang-orang zionis Yahudi di wilayah tersebut. Mereka hendak menghilangkan atau setidaknya mengaburkan peninggalan-peninggalan peradaban Islam dan meredupkan syiar-syiarnya di bumi al-Quds.

Pada tanggal 21 Agustus 1969 bersamaan dengan 8 Jumadil Akhir 1389 H, tentara-tentara zionis menyerang Masjid al-Aqsha dan memasukinya melalui beberapa pintu yang ada. Hingga sampailah mereka di bangunan utama komplek Masjid al-Aqsha yakni Mushollah al-Qibli. Mereka memasuki tempat itu kemudian membakarnya di beberapa titik seperti bagian mihrab, mimbar, di dekat kubah masjid, dll. Para zionis itu juga memutuskan saluran air menuju ke masjid dan menghalangi upaya masyarakat untuk memadamkannya.

Mimbar Shalahuddin al-Ayyubi yang dibakar oleh zionis YahudiApi yang dinyalakan di beberapa titik masjid kemudian menjalar kebagian-bagian lainnya dan hampir saja membakar kubah masjid jika tidak segera dipadamkan oleh kaum muslimin dan orang-orang Nasrani yang turut membantu memadamkannya. Akhirnya api-api yang berkobar di masjid tersebut dapat dipadamkan dengan gotong royong masyarakat membawa air dari sumur-sumur yang ada di sana.

Pembakaran tersebut berdampak pada hilangnya peninggalan-peninggalan lama di Musholla al-Qibli. Mimbar yang merupakan peninggalan Shalahuddin al-Ayyubi hancur terbakar, membakar teras utara, beberapa atap, kubah dan ukiran-ukiran klasik yang ada padanya, dan beberapa peningglan-peningglana kuno lainnya.

Dalam pemberitaan orang-orang Yahudi mengklaim kebakaran disebabkan gangguan arus listrik, sementara orang-orang Arab menyatakan hal itu murni kesengajaan yang dilakukan oleh penjajah Yahudi di Palestina. Akhirnya, seorang pemuda berkebangsaan Australia, Dennis Michael Rohan, ditetapkan sebagai tersangka. Namun tidak beberapa lama ditangkap, ia pun kembali dibebaskan.

Keadaan Masjid al-Aqsha Saat Ini

Dalam beberapa abad, orang-onga Yahudi khususnya zionis, mengklaim bahwa Masjid al-Aqsha dibangun di atas sebuah tempat ibadah Yahudi yang mereka sebut dengan al-Haikal al-Yahudi. Oleh karena itu, sejak tahun 1976 berlaku hal-hal berikut ini:

– Terjadi gangguan dan penyerangan terhadap umat Islam yang sedang menunaikan ibadah di Masjid al-Aqsha bahkan di antara mereka terbunuh di dalamnya.

– Pembakaran beberapa bagian masjid, upaya penggusuran dan pengrusakan.

Tentara zionis Yahudi di Masjid al-Aqsha


– Orang-orang Yahudi menguasa beberapa bagian dari masjid, seperti pintu bagian barat, dinding Buraq diganti menjadi dinding ratapan, dan umat Islam dilarang untuk mendekatinya.

– Umat Islam tidak dibebaskan untuk mendatangi Masjid al-Aqsha dan shalat di dalamnya, sedangkan orang-orang Yahudi malah mendapatkan kebebasan.

– Penggalian terowongan di bagian pondasi wilayah tersebut yang menyebabkan beberapa bangunan retak.

– Upaya pencegahan untuk memperbaiki beberapa bangunan yang telah rusak dan retak.

Penutup

Masjid al-Aqsha adalah milik umat Islam karena ia merupakan warisan dari risalah langit yang kemudian disempurnakan oleh ajaran Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Syariat Islam juga mengimani para rasul, kitab-kitabnya, dan membenarkan inti dari ajaran para nabi dan rasul tersebut, sebagaimana firman Allah Ta’ala,


وَأَنْزَلْنَا إِلَيْكَ الْكِتَابَ بِالْحَقِّ مُصَدِّقاً لِمَا بَيْنَ يَدَيْهِ مِنَ الْكِتَابِ وَمُهَيْمِناً عَلَيْهِ

“Dan Kami telah turunkan kepadamu Al Quran dengan membawa kebenaran, membenarkan apa yang sebelumnya, yaitu kitab-kitab (yang diturunkan sebelumnya) dan batu ujian terhadap kitab-kitab yang lain itu…” (QS. Al-Maidah: 48)

Keimanan kepada para nabi dan rasul serta kitab-kitab yang Allah turunkan menjadi bagian dari rukun keimanan dalam Islam. Adapun umat-umat yang mengklaim mengikuti ajaran nabi-nabi terdahulu, maka klaim tersebut adalah suatu kebohongan karena realisasinya jauh dari yang semestinya. Oleh karena itu, orang-orang Yahudi yang telah mengingkari ajaran-ajaran nabi dan rasul tidak patut mengklaim berhak atas al-Aqsha.

Sekian dari blogger saya, maaf bila salah-salah kata dan semoga membantu kali semua

Minggu, 21 Februari 2016

Islam di India

Islam di India



Peradaban Islam telah menyinari ujung-ujung dunia. Cahayanya menyebar di tiap jengkal wilayah yang pernah dimasukinya. Di antara kisah yang menarik tentang keagungan Islam dan betapa besar peradabannya adalah kisah Islam di India. Negeri dimana syiar Islam tegak kokoh dalam kurun yang lama. Masyarakat hidup dalam keimanan dan keamanan. Serta keadilan dan kebaikan.

Geografi India

Pertama-tama, kita harus mengetahui geografi India. Karena India dalam sejarah Islam berbeda dengan India yang kita kenal pada hari ini. Dalam istilah sejarah Islam, India adalah suatu wilayah yang saat ini meliputi beberapa negara. Yaitu: India, Pakistan, Bangladesh, Srilanka, dan Maladewa. Inilah wilayah India yang dimaksud dalam pembahasan kita. Wilayah yang sebelah selatannya berbatasan dengan Pegunungan Himalaya. Sebelah barat berbatasan dengan Pegunungan Hindukus dan Sulaiman, yang terletak di wilayah Afghanistan dan Iran. Di sepanjang perbatasan utara, wilayah India berbatasan dengan semenanjung Laut Arab dan Teluk Bengal.

India Pra Islam

Sebelum datangnya Islam, kemerosotan akhlak, nilai-nilai kemasyarakatan, dan keyakinan sangat jelas terlihat. Kemunduran pilar-pilar kemasyarakatan ini tampak sedari abad ke-6 masehi. Ditandai dengan banyaknya sesembahan dan Tuhan. Tersebarnya perzinahan. Nafsu syahwat diumbar tak terarah. Ketimpangan lingkungan sosial. Dan meratanya ketidak-adilan (Madza Khasara al-Alam bi Inhithath al-Muslimin oleh Abu Hasan an-Nadwi, Hal: 88).

Di masa-masa itu, begitu banyak agama dan kepercayaan di India. Yang terbesar adalah Hindu, Kemudian Budha. Di sana juga terdapat sedikit orang-orang Nasrani dan Yahudi (Tarikh al-Islam fi al-Hind oleh Abdul Mun’in Namr, Hal: 24).

Sulit untuk menentukan kapan pertama kalinya terjadi kontak antara masyarakat India dengan orang-orang Arab Islam. Hanya saja dapat diketahui bahwa kontak budaya mereka dimulai dengan adanya perniagaan. Kapal-kapal Arab singgah di banyak pelabuhan India. Bahkan sampai ke Teluk Bengal dan negeri-negeri Melayu. Termasuk Indonesia. Sehingga bisa kita temukan perkampungan Arab di wilayah-wilayah tersebut.

Mengenal Islam

Wilayah-wilayah India; India, Pakistan, Bangladesh, Srilanka, dan Maladewa merupakan komunitas terbesar agama Hindu dan Budha. Ada beberapa berita yang menyebutkan bahwa kontak dunia Islam dengan wilayah India telah terjadi sejak zaman Nabi ﷺ. Diriwayatkan bahwa Nabi ﷺ pernah mengirim surat kepada raja India, Raja Malipar. Beliau ﷺ menawarkan Islam kepadanya. Ada pula riwayat yang menyebutkan bahwa Raja Kudunglur (Arab: كدنغلور) mengunjungi Nabi ﷺ di Madinah.

Kemudian di masa Khalifah Rasyidin, utusan-utusan Islam telah mencapai Bombay. Dan di masa Muawiyah, raja pertama dalam Islam ini pernah mengirim pasukan ke wilayah Sindh. Seiring waktu, kontak dengan wilayah India kian menemui puncaknya. Pada masa Abdul Malik bin Marwan, Muhammad bin Qasim datang ke India. Ia memerangi orang-orang India yang menyandera kaum muslimah. Mulailah wilayah-wilayah India dibebaskan. Islam pun diterima masyakarat dan tersebar di sana.

Di masa berikutnya, Umar bin Abdul Aziz menyurati beberapa raja India. Di antara mereka ada yang menerima Islam. Kemudian disempurnakan oleh Hisyam bin Abdul Malik yang berhasil menstabilkan wilayah India.

Di awal kekuasaan Daulah Abasiyah, terjadi kerusuhan di negeri Hindustan ini. Kemudian Khalifah Harun al-Rasyid mengangkat sejumlah gubernur bergantian memimpin wilayah Sind hingga wilayah India pun tunduk kepada kekhalifahan di Baghdad.

Ketika kekhalifahan mulai melemah, orang-orang India tunduk kepada orang-orang Samani. Salah satu kepercayaan yang meyakini bahwa air dan api adalah bendak suci. Hingga datang Mahmud Ghaznawi. Islam pun kembali Berjaya. Sampai-sampai raja wilayah Kasymir pun memeluk Islam melalui perantaranya.

Setelah era Dinasti Ghaznawi, India dikuasai oleh orang-orang Dinasti Saljuk. Kemudian Turkman. Setelah itu orang-orang Ghuri. Lalu berganti lagi dikuasai orang-orang Mamalik. Dinasti Mamluk berhasil menjaga India dari serangan Mongol. Setelah itu, India dikuasai oleh Dinasti Khilji yang merupakan orang-orang Turk.

Beberapa lama dikuasai pihak luar, akhirnya orang-orang India kembali memerintah di daerah mereka. Pada masa ini wilayah India terpecah menjadi enam negara. Namun Dinasti Lodi berhasil menyatukannya kembali. Ketika kekuasaan Dinasti Lodi melemah, muncullah Dinasti Mughal. Yang kemudian menjadi salah satu kerajaan Islam terbesar di abad pertengahan. Namun sayangnya, kerajaan ini pula yang menjadi penguasa muslim terakhir di wilayah India yang luas ini.

Raja Mughal yang terkuat adalah Raja Jalaluddin. Kekuasannya meliputi seluruh wilayah India, kecuali wilayah ujung selatan. Wilayah selatan ini dikuasai oleh raja-raja Bijapur dan Kalinga yang telah menerima Islam pula. Pada saat itu, muncul seorang Indian yang bernama Vijayankir (Arab: فيجايانكر). Ia berobsesi menyatukan seluruh agama yang ada di India menjadi satu aliran kepercayaan. Dari sini kita ketahui, isu pluralism agama adalah sebuah pemikiran lama yang booming kembali di abad modern ini.

Di pesisir barat India, orang-orang Portugal mulai menunjukkan ambisinya. Belanda menyimpan obsesi. Dan Perancis turut bergerak. Inggris pun merangkul mereka. terbentuklah sebuah perserikatan dagang Inggris di India. Muncullah took-toko kecil. Kemudian dijaga oleh orang-orang Inggris. Dari sini terbentuklah militer yang kemudian. Mulailah terjadi ketegangan antara pribumi, dengan penjajah Kristen Eropa.

Muncullah gerakan jihad di tanah Hindustan. Inggris pun mulai memainkan tipu muslihat dengan berusaha memecah belah kelompok-kelompok jihad. Mereka mengadakan konspirasi pemecah belah dengan menyerukan agar India lepas dan bebas dari pengaruh asing. Orang asing di sini maksudnya adalah pendatang Islam yang sudah mendarah daging dengan penduduk setempat.

Sama halnya dengan seruan saat ini, kampanye pemisahan budaya Arab dan budaya lokal begitu deras dihembuskan. Padahal dari beberapa contoh yang disebutkan tentang budaya Arab adalah Islam itu sendiri.

Akhirnya, India pun jatuh ke tangan penjajah Inggris.

Untuk membela kepentingan Islam, kaum muslimin mendirikan Hizb Rabithah al-Islamiyah (Muslim League). Dibuatlah sebuah media cetak agar suara umat Islam kian cepat tersebar. Pada perang dunia pertama, umat Islam dijanjikan kemerdekaan. Namun janji tersebut tidak ditepati. Terjadilah gejolak. Hizb Rabithah al-Islamiyah menuntut agar umat Islam dimerdekakan dan membentuk negara Pakistan. Akhirnya parlemen Inggris mengizinkan umat Islam mendirikan negara Republik Islam Pakistan.

Pada 15 Agustus 1947, Inggris menyerahkan kekuasaan secara terpisah kepada India dan Pakistan. Deklarasi kemerdekaan tersebut mengakibatkan perpindahan penduduk besar-besaran. Sekitar 6 juta pemeluk Hindu dan Sikh keluar dari Pakistan menuju India. Dan kurang lebih 8 juta umat Islam bermigrasi dari India menuju Pakistan.

Sejak saat itu, terbagi-bagilah wilayah India seperti yang kita lihat sekarang ini. India, Pakistan yang kemudian juga terpecah dan muncullah Bangladesh. Umat Islam kurang lebih berkuasa selama 5 abad di wilayah ini. Suka dan duka, kemajuan dan kemunduran, damai dan perang, silih berganti menulis sejarah perjalanan wilayah ini.

Sekian dari blogger saya, semoga bermanfaat

Mengenal Putra dan Putri Rasulullah

Mengenal Putra dan Putri Rasulullah

Pembicaraan tentang putra dan putri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam termasuk pembicaraan yang jarang diangkat. Tidak heran, sebagian umat Islam tidak mengetahui berapa jumlah putra dan putri beliau atau siapa saja nama anak-anaknya.

Enam dari tujuh anak Rasulullah terlahir dari ummul mukminin Khadijah binti Khuwailid radhiallahu ‘anha. Rasulullah memuji Khadijah dengan sabdanya,

قَدْ آمَنَتْ بِي إِذْ كَفَرَ بِي النَّاسُ وَصَدَّقَتْنِي إِذْ كَذَّبَنِي النَّاسُ وَوَاسَتْنِي بِمَالِهَا إِذْ حَرَمَنِي النَّاسُ وَرَزَقَنِي اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ وَلَدَهَا إِذْ حَرَمَنِي أَوْلَادَ النِّسَاءِ

“Ia telah beriman kepadaku tatkala orang-orang kafir kepadaku, ia telah membenarkan aku tatkala orang-orang mendustakan aku, ia telah membantuku dengan hartanya tatkala orang-orang menahan hartanya tidak membantuku, dan Allah telah menganugerahkan darinya anak-anak tatkala Allah tidak menganugerahkan kepadaku anak-anak dari wanita-wanita yang lain.” (HR Ahmad no.24864)

Saat beliau mengucapkan kalimat ini, beliau belum menikah dengan Maria al-Qibtiyah.

Anak-anak Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam

Imam an-Nawawi rahimahullah berkata, “Rasulullah memiliki tiga orang putra; yang pertama Qasim, namanya menjadi kunyah Rasulullah (Abul Qashim). Qashim dilahirkan sebelum kenabian dan wafat saat berusia 2 tahun. Yang kedua Abdullah, disebut juga ath-Thayyib atau ath-Tahir karena lahir setelah kenabian. Putra yang ketiga adalah Ibrahim, dilahirkan di Madinah tahun 8 H dan wafat saat berusia 17 atau 18 bulan.

Adapun putrinya berjumlah 4 orang; Zainab yang menikah dengan Abu al-Ash bin al-Rabi’, keponakan Rasulullah dari jalur Khadijah, kemudian Fatimah menikah dengan Ali bin Abi Thalib, lalu Ruqayyah dan Ummu Qultsum menikah dengan Utsman bin Affan.

Rinciannya adalah sebagai berikut:

Putri-putri Rasulullah

Para ulama sepakat bahwa jumlah putri Rasulullah ada 4 orang, semuanya terlahir dari rahim ummul mukminin Khadijah radhiallahu ‘anha.

Pertama, putri pertama Rasulullah adalah Zainab binti Rasulullah.

Zainab radhiallahu ‘anha menikah dengan anak bibinya, Halah binti Khuwailid, yang bernama Abu al-Ash bin al-Rabi’. Pernikahan ini berlangsung sebelum sang ayah diangkat menjadi rasul. Zainab dan ketiga saudarinya masuk Islam sebagaimana ibunya Khadijah menerima Islam, akan tetapi sang suami, Abu al-Ash, tetap dalam agama jahiliyah. Hal ini menyebabkan Zainab tidak ikut hijrah ke Madinah bersama ayah dan saudari-saudarinya, karena ikatannya dengan sang suami.

Beberapa lama kemudian, barulah Zainab hijrah dari Mekah ke Madinah menyelamatkan agamanya dan berjumpa dengan sang ayah tercinta, lalu menyusullah suaminya, Abu al-Ash. Abu al-Ash pun mengucapkan dua kalimat syahadat dan memeluk agama mertua dan istrinya. Keluarga kecil yang bahagia ini pun bersatu kembali dalam Islam dan iman. Tidak lama kebahagiaan tersebut berlangsung, pada tahun 8 H, Zainab wafat meninggalkan Abu al-Ash dan putri mereka Umamah.

Setelah itu, terkadang Umamah diasuh oleh kakeknya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sebagaimana dalam hadis disebutkan beliau menggendong cucunya, Umamah, ketika shalat, apabila beliau sujud, beliau meletakkan Umamah dari gendongannya.

Kedua, Ruqayyah binti Rasulullah.

Ruqayyah radhiallahu ‘anha dinikahkan oleh Rasulullah dengan sahabat yang mulia Utsman bin Affan radhiallahu ‘anhu. Keduanya turut serta berhijrah ke Habasyah ketika musyrikin Mekah sudah sangat keterlaluan dalam menyiksa dan menyakiti orang-orang yang beriman. Di Habasyah, pasangan yang mulia ini dianugerahi seorang putra yang dinamai Abdullah.

Ruqayyah dan Utsman juga turut serta dalam hijrah yang kedua dari Mekah menuju Madinah. Ketika tinggal di Madinah mereka dihadapkan dengan ujian wafatnya putra tunggal mereka yang sudah berusia 6 tahun.

Tidak lama kemudian, Ruqoyyah juga menderita sakit demam yang tinggi. Utsman bin Affan setia merawat istrinya dan senantiasa mengawasi keadaannya. Saat itu bersamaan dengan terjadinya Perang Badar, atas permintaan Rasulullah untuk mejaga putrinya, Utsman pun tidak bisa turut serta dalam perang ini. Wafatlah ruqayyah  bersamaan dengan kedatangan Zaid bin Haritsah yang mengabarkan kemenangan umat Islam di Badar.

Ketiga, Ummu Kultsum binti Rasulullah.

Setelah Ruqayyah wafat, Rasulullah menikahkan Utsman dengan putrinya yang lain, Ummu Kultsum radhiallahu ‘anha. Oleh karena itulah Utsman dijuluki dzu nurain (pemilik dua cahaya) karena menikahi dua putri Rasulullah, sebuah keistimewaan yang tidak dimiliki sahabat lainnya.

Utsman dan Ummu Kultsum bersama-sama membangun rumah tangga hingga wafatnya Ummu Kultsum pada bulan Sya’ban tahun 9 H. Keduanya tidak dianugerahi putra ataupun putri. Ummu Kultsum dimakamkan bersebelahan dengan saudarinya Ruqayyah radhiallahu ‘anhuma.

Keempat, Fatimah binti Rasulullah.

Fatimah radhiallahu ‘anha adalah putri bungsu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ia dilahirkan lima tahun sebelum kenabian. Pada tahun kedua hijriyah, Rasulullah menikahkannya dengan Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu. Pasangan ini dikaruniai putra pertama pada tahun ketiga hijriyah, dan anak tersebut dinamai Hasan. Kemudian anak kedua lahir pada bulan Rajab satu tahun berikutnya, dan dinamai Husein. Anak ketiga mereka, Zainab, dilahirkan pada tahun keempat hijriyah dan dua tahun berselang lahirlah putri mereka Ummu Kultsum.

Fatimah adalah anak yang paling mirip dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dari gaya bicara dan gaya berjalannya. Apabila Fatimah datang ke rumah sang ayah, ayahnya selalu menyambutnya dengan menciumnya dan duduk bersamanya. Kecintaan Rasulullah terhadap Fatimah tergambar dalam sabdanya,

فاطمة بضعة منى -جزء مِني- فمن أغضبها أغضبني” رواه البخاري

“Fatimah adalah bagian dariku. Barangsiapa membuatnya marah, maka dia juga telah membuatku marah.” (HR. Bukhari)

Beliau juga bersabda,

أفضل نساء أهل الجنة خديجة بنت خويلد، وفاطمة بنت محمد، ومريم بنت عمران، وآسية بنت مُزاحمٍ امرأة فرعون” رواه الإمام أحمد

“Sebaik-baik wanita penduduk surga adalah Khadijah binti Khuwailid, Fatimah binti Muhammad, Maryam binti Imran, Asiah bin Muzahim, istri Firaun.” (HR. Ahmad).

Satu-satunya anak Rasulullah yang hidup saat beliau wafat adalah Fatimah, kemudian ia pula keluarga Rasulullah yang pertama yang menyusul beliau. Fatimah radhiallahu ‘anha wafat enam bulan setelah sang ayah tercinta wafat meninggalkan dunia. Ia wafat pada 2 Ramadhan tahun 11 H, dan dimakamkan di Baqi’.

Putra-putra Rasulullah

Pertama, al-Qashim bin Rasulullah. Rasulullah berkunyah dengan namanya, beliau disebut Abu al-Qashim (bapaknya Qashim). Qashim lahir sebelum masa kenabian dan wafat saat usia dua tahun.

Kedua, Abdullah bin Rasulullah. Abdullah dinamai juga dengan ath-Thayyib atau ath-Thahir. Ia dilahirkan pada masa kenabian.

Ketiga, Ibrahim bin Rasulullah.

Ibrahim dilahirkan pada tahun 8 H di Kota Madinah. Dia adalah anak terakhir dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dilahirkan dari rahim Maria al-Qibthiyah radhiallahu ‘anha. Maria adalah seorang budak yang diberikan Muqauqis, penguasa Mesir, kepada Rasulullah. Lalu Maria mengucapkan syahadat dan dinikahi oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Usia Ibrahim tidak panjang, ia wafat pada tahun 10 H saat berusia 17 atau 18 bulan. Rasulullah sangat bersedih dengan kepergian putra kecilnya yang menjadi penyejuk hatinya ini. Ketika Ibrahim wafat, Rasulullah bersabda,

“إن العين تدمع، والقلب يحزن، ولا نقول إلا ما يُرْضِى ربنا، وإنا بفراقك يا إبراهيم لمحزونون” رواه البخاري
“Sesungguhnya mata ini menitikkan air mata dan hati ini bersedih, namun kami tidak mengatakan sesuatu yang tidak diridhai Rab kami. Sesungguhnya kami bersedih dengan kepergianmu wahai Ibrahim.” (HR. Bukhari).

Kalau kita perhatikan perjalanan hidup Rasulullah bersama anak-anaknya, niscaya kita dapati pelajaran dan hikmah yang banyak. Allah Ta’ala mengaruniakan beliau putra dan putri yang merupakan tanda kesempurnaan beliau sebagai manusia. Namun Allah juga mencoba beliau dengan mengambil satu per satu anaknya sebagaiman dahulu mengambil satu per satu orang tuanya tatkala beliau membutuhkan mereka; ayah, ibu, kakek, dan pamannya. Hanya anaknya Fatimah yang wafat setelah Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Allah juga tidak memperpanjang usia putra-putra beliau, salah satu hikmahnya adalah agar orang-orang tidak mengkultuskan putra-putranya atau mengangkatnya menjadi Nabi setelah beliau. Bisa kita lihat, cucu beliau Hasan dan Husein saja sudah membuat orang-orang yang lemah terfitnah. Mereka mengagungkan kedua cucu beliau melebih yang sepantasnya, bagaimana kiranya kalau putra-putra beliau dipanjangkan usianya dan memiliki keturunan? Tentu akan menimbulkan fitnah yang lebih besar.

Hikmah dari wafatnya putra dan putri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga sebagai teladan bagi orang-orang yang kehilangan salah satu putra atau putri mereka. saat kehilangan anaknya, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabar dan tidak mengucapkan perkataan yang tidak diridhai Allah. Ketika seseorang kehilangan salah satu anaknya, maka Rasulullah telah kehilangan hampir semua anaknya.

Semoga shalawat dan salam senantiasa tercurah kepada Nabi Muhammad dan keluarganya..
Amin.....

Sekian Dari blogger saya, semoga bermanfaat
 

Ketika Negara Islam Menyelamatkan 150.000 Orang Yahudi

Ketika Negara Islam Menyelamatkan 150.000 Orang Yahudi

Konflik memanas di Iberia. Kristen Spanyol kian menguat dengan bersatunya Kerajaan Castilla dan Aragon melalui pernikahan Ratu Castillah Isabela dengan Raja Aragon Ferdinand. Pada bulan Juli 1492, Spnyol yang baru, membuat kebijakan membantai dan mengusir orang-orang Muslim dan Yahudi di wilayah mereka. Kejadian ini merupakan bagian dari kebijakan kejam dan brutal yang dikenal dengan inquisisi.

Umat Islam minoritas mencoba melakukan perlawanan. Namun upaya mereka selalu menemui kegagalan. Mereka mengirim surat kepada raja-raja Islam untuk menyelamatkan hidup mereka. Raja Dinasti Hotak, Shah Asyraf Hotak, segera mengutus delegasi kepada Paus dan raja-raja Nasrani, mengingatkan bahwa orang-orang Nasrani di wilayahnya dijamin keamanannya. Apbila umat Islam di Spanyol tetap disiksa secara kejam, ia mengancam akan melakukan hal yang sama terhadap kaum Nasrani di wilyahnya. Sayangnya, upaya Raja Asyraf tidak mampu menekan Kristen Spanyol.

Muslim Spanyol juga mengirim surat kepada Khalifah Utsmani, Sultan Bayazid II. Merespon hal tersebut, Sultan Bayazid II mengirimkan angkatan lautnya dibawah pimpinan Laksamana Kemail Reis. Ia tidak mampu mengirimkan pasukan perang karena sedang menghadapi banyak pemberontakan dan perlawanan. Pemberontakan dari saudaranya Pangeran Jem. Dan serangan Nasrani di Venezia, Hungaria, dan Perancis. Belum lagi ancaman Kerajaan Syiah Shafawiyah. Di tengah kesulitan tersebut ia mengirimkan angkatan laut Utsmani untuk misi penyelamatan. Kapal laut pun dikerahkan berangkat menuju Spanyol.

Misi Kemanusiaan Menyelamatkan Orang Tertindas

Sultan Bayazid II dan pasukannya tidak hanya menyelamatkan saudara seiman saja. Pasukan Islam juga menyelamatkan orang-orang Yahudi yang terusir. Saat itu, lebih dari 150.000 orang-orang Yahudi dibawa menuju wilayah Turki Utsmani yang aman untuk mereka. Sultan pun telah mengirim surat perintah ke seluruh wilayahnya bahwa para pengungsi harus disambut dengan terbuka.

Dalam surat perintah tersebut, Sultan Bayazid II menyatakan bahwa Allah memerintahkan kita untuk berbuat baik kepada keturunan Nabi Ibrahim dan Yakub. Menjamin makanan yang layak untuk mereka. Mereka bisa datang dan menetap di Istanbul. Hidup damai, bebas melakukan perdagangan, dan memiliki rumah dan tanah sendiri.

Gambran penyambutan pengungsi Yahudi oleh Sultan Utsmani

Sultan Bayazid mengirimkan pesan kepada seluruh gubernurnya di wilayah Eropa, untuk menyambut mereka dengan tangan terbuka. Ia mengancam akan memberikan sangsi bagi gubernur yang menolak pengungsi Yahudi.


Sekian dari blogger saya., semoga bermanfaat

10 Pemimpin Besar Dalam Sejarah Islam


10 Pemimpin Besar Dalam Sejarah Islam (1)
Memilih 10 nama dari ratusan pemimpin besar Islam (selain sahabat) tentu bukanlah hal mudah. Bisa jadi pembaca punya idola dan pilihan berbeda. Ada yang menyebut beberapa nama dan menggeser beberapa nama yang kami sebutkan. Demikianlah sejarah. Ia bukan ilmu pasti seperti matematika dan fisika. Ada garis batas yang kaku dan rumus yang jitu untuk menentukan hasil tertentu. Sejarah tidak seperti itu.

10 nama ini dipilih berdasarkan peranan besar mereka dalam politik dan strategi. Juga kemampuan dalam menghadapi tipu daya musuh yang mengancam dan menipu. Bukan dari sisi prestasi dalam ilmu dan sastra. Juga bukan dalam masalah hukum dan pengetahuan agama. Dan tentu saja, 10 nama ini dipilih agar umat Islam tahu tentang pahlawan mereka.

Dalam kurun 3 abad, nama-nama mereka dicatat sebagai tokoh besar dalam dunia militer.


Pertama: Abu Ja’far al-Manshur

Laki-laki tangguh ini adalah seseorang yang memegang peranan penting dalam sejarah berdirinya Daulah Abbasiyah. Dialah pencetus ide Daulah Abasiyah. Dia juru taktik dan tokoh intelektual di
belakang saudaranya Abu al-Abbas as-Safah, khalifah pertama Daulah Abbasiyah.

Saat kekuasaan Daulah Umayyah telah masuk ke wilayah Andalusia hingga Asia Tengah, mulailah terjadi kegoncangan. Damaskus (ibu kota Daulah Umayyah) sulit me-manage wilayah kekuasaannya yang begitu besar sekaligus memiliki ragam budaya yang berbeda. Para sejarawan menyebutkan bahwa faktor utama runtuhnya Dualah Umayyah adalah kegagalan mereka berinteraksi dengan ragam etnik dan budaya yang heterogen. Dan di saat itu pula orang-orang Abbasiyah menyerukan perlawanan.

Abu Ja’far al-Manshur begitu jeli melihat kelemahan Daulah Umayyah. Ia pandai memposisikan diri di kalangan orang-orang Persia dan Asia Tengah. Ia tahu bagaimana mengarahkan potensi perbedaan etnik dan budaya menjadi sebuah energi positif yang membangun, tidak melulu menghembuskan energi negatif yang hanya memicu sengketa dan perpecahan. Melihat geopolitik Timur Tengah saat ini, kecerdasan Abu Ja’far al-Manshur menyatukan Persia dan Arab belum bisa ditiru oleh pemimpin-pemimpin di era modern ini.

Di negeri yang sedang dibangun Abu Ja’far, tidak ada identitas kesukuan. Identitas seseorang hanya disandarkan pada Islam saja. hebatnya, ia juga mampu mengkompromikan antara budaya Arab dan Persia yang dikenal sangat sulit bersatu. Para khalifah Abbasiyah berikutnya mendapatkan warisan berharga berupa pondasi masyarakat yang kokoh. Hingga karakter Abbasiyah ini luntur ditandai dengan munculnya Dinasti Buwaihi dan Saljuk. Dan akhirnya runtuh di tangan bangsa Mongol pada tahun 656 H/1258 M.


Kedua: Abdurrahman ad-Dakhil

Abdurrahman ad-Dakhil, anak muda bani Umayyah ini memiliki perjalanan hidup yang luar biasa. Membaca kisahnya mendirikan Daulah Bani Umayyah II seperti membaca kisah dongeng. Kalau Anda takjub dengan anak muda membuat “kerajaan” bisnis; mendirikan perusahaan, sejuta pencapaian, atau dengan Mark Zuckerberg yang mendirikan facebook, maka Anda akan lebih takjub lagi dengan kisah Abdurrahman ad-Dakhil. Karena di usia belia, ia mendirikan kerajaan dalam arti senyatanya. –atas izin Allah- Ia mampu melakukan lobi-lobi politik tingkat tinggi, memimpin puluhan ribu pasukan untuk tunduk pada komandonya, memadamkan puluhan pemberontakan, menyelamatkan nyawa dari ribuan pedang, semua itu ia lakukan sejak berusia 19 tahun.

Abdurrahman ad-Dakhil menjadi buronan Abbasiyah saat berusia 19 tahun. Menjadi penguasa tunggal di Andalusia pada usia 29 tahun. Dan terus memegang kekuasaan selama sekitar 34 tahun.
Patung Abdurrahman ad-Dakhil di Almuñécar, Spanyol.
Abdurrahman ad-Dakhil adalah cucu dari Khalifah Hisyam bin Abdul Malik al-Umawi. Pada saat Daulah Abbasiyah berdiri, maka terjadi pembantaian besar-besaran terhadap bani Umayyah. Termasuk Abdurrahman bin Muawiyah bin Hisyam ad-Dakhil menjadi sasaran. Ia pun kabur menyelamatkan diri. Saat dalam pelarian itu, ia menyaksikan dua orang saudaranya dibunuh di hadapannya. Ia terus berlari menuju Syam kemudian Mesir lalu Maroko. Dari Maroko, ia menyeberang ke Andalusia. Di sanalah ia mendapatkan gelar ad-Dakhil.

Sejak umat Islam masuk ke Andalusia pada tahun 92 H hingga masuknya ad-Dakhil pada tahun 138 H, orang-orang Arab belum memiliki posisi yang kokoh di Jazirah Iberia itu. Tidak sampai setahun, ad-Dakhil telah berhasil mengokohkan posisinya di Cordoba. Dari Cordoba, ia berhasil menguasai Zaragoza dan Barcelona. Kedua kota tersebut ia taklukkan atas kecerdikannya melobi kekuatan militer bangsa Frank untuk membantunya. Kemudian ia menguasai kota-kota lainnya.

Mengingat ruwetnya lobi politik partai-partai pasca pemilu, kita bisa mengetahui bagaimana kehandalan politik anak muda yang bernama Abdurrahman bin Muawiyah ini. Kalau level partai, level nasional saja sulit menyatukan pendapat, kita jadi tahu bagaimana jitunya lobi Abdurrahman ad-Dakhil yang bisa merangkul bangsa Eropa agar mau bekerja untuknya.


Ketiga: Alib Arselan as-Saljuki

Garis batas wilayah kekuasaan Dinasti Saljuk –orang-orang Turki- meluas dengan pesat. Mulai dari Asia Tengah hingga ibu kota Daulah Abbasiyah di Baghdad. Kekuatan dinasti ini terus tumbuh hingga ia menjadi penguasa seluruh wilayah Islam. Dinasti ini menguasai orang-orang Buwaihi dan melindungi Abbasi, khususnya dari gangguan Syiah Fatimi (Daulah Ubaidiyah) yang menyebarkan ideologi Syiah Ismaili.

Di balik kejayaan Dinasti Saljuk ada nama Alib Arselan sebagai tokoh utamanya. Orang-orang Turki patut berbangga karena lahir seorang Alib Arselan di tengah-tengah mereka. Alib Arselan pernah memukul mundur 200.000 pasukan Romawi hanya dengan 20.000 pasukan saja. 1 banding 10. Pasukan adidaya Romawi yang sudah berkuasa berabad-abad lamanya. Pasukan yang kuat yang disangka tak terkalahkan itu takluk dengan pasukan yang jauh lebih sedikit jumlahnya. Sejak saat itu, pengaruh Romawi di Asia kecil melemah hingga akhirnya ditaklukkan oleh Muhammad al-Fatih.
Saat ini, melihat kebijakan Tayib Recep Erdogan saja kita kagum. Bagaimana pula kiranya Alib Arselan yang berhasil meruntuhkan mental negara adidaya kemudian menguasainya.


Keempat: Nuruddin Zanki

Nuruddin Zanki, ia adalah pahlawan Islam yang berhasil mengusir tentara Salib diari tanah Suriah dan sebagian wilayah Palestina. Mungkin namanya tidak sepopuler Shalahuddin al-Ayyubi, tapi dialah yang membuka jalan bagi Shalahuddin untuk membebaskan Jerusalem.

Setelah menggantikan ayahnya sebagai penguasa Aleppo, Nuruddin berusaha sekuat tenaga menyatukan wilayah-wilayah Syam. Ia membebaskan Damaskus, Baalbek, Edessa, Harran, dan Mosul. Setelah itu ia mengarahkan pasukannya menuju Palestina menghadapai Pasukan Salib. Ia juga menghadapi orang-orang Salib di Mesir. Dan kemudian memasukkan wilayah-wilayah tersebut di bawah kekuasaannya.

Sama seperti Alib Arselan, Nuruddin Zanki juga dikenal sebagai seorang yang shaleh dan zuhud. Ia memberi perhatian yang besar terhadap perkembangan agama Islam. Saa wafat pada tahun 569 H/1174, Nuruddin telah membangun banyak masjid, madrasah, rumah sakit, dan rumah para musafir.


Kelima: Shalahuddin al-Ayyubi

Shalahuddin al-Ayyubi adalah penerus perjuangan Nuruddin Zanki. Dilahirkan dari suku Kurdi, Shalahuddin tumbuh besar di wilayah Syam karena ayahnya pindah ke Aleppo membantu perjuangan Imaduddin Zanki, ayah dari Nuruddin Zanki. Di Aleppo Shalahuddin kecil mempelajari agama dan kemiliteran. Kemudian ia bergabung ke dalam pasukan pamannya, Asaduddin Syirkuh, yang merupakan salah seorang panglima pasukan Nuruddin Zanki.

Di bawah bimbingan Nuruffin Zanki, karir Shalahuddin terus menanjak, hingga ia diamanahi untuk memimpin Mesir setelah mengusir orang-orang Fatimiyah dari wilayah Sunni itu. setelah Nuruddin wafat, Shalahuddin menempati kekuasaannya. Ia pun jadi pemimpin Mesir dan Syam. Misi pembebasan Jerusalem pun dilanjutkan.

Pada Perang Hattin tahun 583 H/1187 M, Shalahuddin berhasil mengalahkan Pasukan Salib. Dalam waktu hanya tiga bulan, wilayah-wilayah yang dikuasai Tentara Salib; Acre, Beirut, Sidon, Nablus, Jaffa, dan Ashkelon kembali ke tangan kaum muslimin. Kemudian Jerusalem setelah 88 tahun dikuasai oleh Pasukan Salib.

10 Pemimpin Besar Dalam Sejarah Islam (2)
Biarlah mereka bercerita tentang Achiles, sang pemberani dalam mitologi Yunani. Atau dongeng manusia setengah dewa, Hercules. Kita –umat Islam- pun memiliki pahlawan pemberani pula. Ceritakanlah kepada kepada anak-anak kaum muslimin tentang Abdurrahman ad-Dakhil, atau Muhammad al-Fatih, atau Sulaiman al-Qanuni. Agar mereka tahu siapakah yang lebih layak untuk jadi idola.


Keenam: Saifuddin Qutuz

Saifuddin Qutuz adalah orang kepercayaan Sultan al-Mu’iz Izuddin Aibek dan anaknya, Sultan al-Manshur Ali. Salah satu prestasi terbesarnya adalah mengalahkan pasukan Mongol yang tak terkahlahkan itu.

Ketika Mongol sampai di wilayah Syam, mereka mengutus duta kepada Qutuz, agar menyerah dan tunduk kepada Mongol. Tunduk kepada orang Aisa Tengah yang nomaden yang telah menjelma menjadi kekuatan dunia. Kekuatan besar yang telah mengalahkan negeri sebesar Tiongkok. Kekuatan besar yang tak ada satu pun negeri-negeri Timur mampu membuat mereka mundur.

Peta Ain JalutBeberapa riwayat sejarah menyebutkan, Qutuz membalas sikap Mongol yang menganggap remeh Daulah Mamluk ini dengan memenggal para utusan itu. kemudian memajang kepala mereka di depan Gerbang Zuwaylah, salah satu gerbang di Kota Kuno Kairo, Mesir. Hal ini menegaskan sikap Daulah Mamluk, mereka menyambut genderang perang yang ditabuh Mongol terhadap negara-negara Islam. Peristiwa ini mengawali perang besar yang kita kenal dengan Perang Ainjalut. Perang paling bersejarah dalam perjalanan Kota Kairo. Perang yang –atas izin Allah- menyelematkan peradaban Islam dari keganasan bangsa Mongol.


Mengalahkan Mongol hanya dengan bermodal keberanian, sama saja menyerahkan leher-leher kaum muslimin untuk disembelih. Tentu butuh strategi dan perhitungan yang jitu. Mongol telah mengalahkan Cina, bangsa yang kuat dan memiliki peradaban yang mapan. Mengalahkan Abbasiyah yang telah berkuasa di tanah Arab berabad-abad. Oleh karena itu, pencapaian Qutuz dengan mengalahkan Mongol adalah sesuatu yang luar biasa. Selain itu, moral kaum muslimin pun kembali meninggi.


Ketujuh: Yusuf bin Tasyafin

Yusuf bin Tasyafin, sang singa Murabithin. Kecerdasannya tampak saat Penguasa Murabithin di Maroko, Amir Abu Bakar, menunjuknya sebagai penguasa wilayah Sijilmasa. Kemudian Abu Bakar menyerahkan kekuasaan Daulah Murabithin kepadanya secara utuh. Dimulailah masa keemasan Murabithin hingga 45 tahun berikutnya.

Kota Marrakesh
Yusuf mulai membangun kota Marrakesh. Memperluas kekuasaan Murabithin hingga meliputi seluruh wilayah Maroko dan Aljazair. Kemudian menuju Andalusia, menyelamatkan kaum muslimin setelah jatuhnya Kota Toledo ke tangan orang-orang Nasrani. Ia terus masuk ke Andalusia hingga berhasil mengalahkan Raja Alfonso dari Kerajaan Kastilia pada tahun 479 H/1086 M.


Kedelapan: Muhammad al-Fatih

Muhammad al-Fatih adalah seorang pemimpin Daulah Utsmani yang sangat dikenal. Ia memegang kekuasaan Utsmani pada tahun 855 H/1451 M dan berhasil menaklukkan Konstantinopel pada tahun 857 H/1453 M. Ia memerintah kerajaan ini selama 30 tahun.

Selain digelari dengan al-Fatih, ia juga disebut dengan Kaisar Romawi, karena mewarisi kerajaan Romawi Bizantium. Ia juga dikenal dengan Tuan Dua Benua dan Dua Lautan, karena menguasai Anatolia dan Balkan serta merajai Laut Aegea dan Laut Hitam.

Sultan Muhammad al-Fatih memasuki Konstantinopel
Masa pemerintah Muhammad al-Fatih dikenal dengan masa reformasi Daulah Utsmani. Ia membuat tata aturan yang berlaku merata di wilayah kekuasaannya. Keistimewaan pemerintahannya ditandai dengan penjagaan luar biasa terhadap masyarakat pedangang dan perkembangan diplomasi dengan wilayah-wilayah tetangga.

Selain dikenal sebagai pembuka jalan masuknya Islam ke Eropa, Muhammad al-Fatih juga dikenal sebagai seorang yang toleran. Semua lapisan masyarakat Istanbul mengetahui hal itu. Ia sering berdiskusi dengan cendekiawan Itali dan Yunani di Kota Balata. Menunjukkan betapa terbukanya dia. Dalam pemerintahannya, gereja Kristen ortodoks di Turki tetap berjalan normal seperti sebelumnya, hingga ditutup di masa pemerintahan Turki modern di abad ke-20.


Kesembilan: Sultan Salim I

Hanya 8 tahun saja Sultan Salim I memerintah Daulah Utsmani, namun pencapaiannya begitu luar biasa. Mesir, Suriah, dan Hijaz menjadi bagian dari Utsmani. Inilah kali pertama Daulah Utsmani menjadi penguasa wilayah bumi terbesar.

Pada masa pemerintah Sultan Salim I, muncul ancaman di wilayah timur Utsmani dari Kerajaan Syiah Shafawi di Iran. Orang-orang Persia itu mulai mengancam Anatolia. Sultan Salim I “membeli” “dagangan” mereka. terjadilah pertempuran melawan Syiah Shafawi di perbatasan Timur Utsmani, di Sungai Eufrat, pada tahun 920 H/1514 M. Dari peperangan tersebut, wilayah Turkmenistan dan Kurdistan menjadi bagian dari Utsmani.

Pada tahun 922 dan 923 H/1516 dan 1517, wilayah Mesir dan Syam menjadi wilayah Utsmani. Kemudian syarif Mekah menyerahkan kekuasaannya atas Mekah dan Madinah kepada Sultan Salim I di Kairo.


Kesepuluh: Sultan Sulaiman al-Qanuni

Setelah Sultan Salim I wafat, kekuasaan Utsmani dipegang oleh anaknya, Sulaiman al-Qanuni (926-974 H/1520-1566 M). Sultan Sulaiman mengikuti kebijakan pendahulunya dalam kemiliteran. Namun di masa pemeritahannya, hukum, kebudayaan, dan tata kota lebih tersusun rapi. Oleh karena itu, masa pemerintahannya terkenal dengan puncak kejayaan peradaban Utsmani.

Pada masa Sultan Sulaiman wilayah Beograd –ibu kota Serbia sekarang-, Rhodes, Hungaria, dan Wina –ibu kota Austria- menjadi wilayah Turki Utsmani. Sultan Sulaiman melakukan aktivitas militer besar-besaran sebanyak tiga kali menghadapi Daulah Shafawi yang berpaham Syiah. Pertama pada tahun 941 H/1534 M ketika orang-orang Shafawi masuk ke Kota Erzurum di bagian timur Turki sekarang. Kedua, pada tahun 955 H/1548 M terjadi kontak senjata atas wilayah Danau Van. Ketiga, tahun 961 H/ 1554 M.

Di masa ini juga muncul seorang pemimpin angkatan laut Utsmani yang terkenal, Khairuddin Barbarosa. Barbarosa adalah seorang panglima angkata laut terbaik dalam sejarah Islam. Jasanya sangat besar dalam menjaga Laut Mediterania, Pantai Yunani, Venice (kota di Italia), dan Spanyol.


Sekian dari blogger saya, semoga bermanfaat bagi anda semua 

Kamis, 18 Februari 2016

ZULKARNAIN DAN DINDING (TEMBOK) YANG DIBINA



Al-Quran menceritakan kepada Nabi Muhammad S.A.W mengenai Zulkarnain dan bagaimana Zulkarnain menggunakan kekuasaan yang dikurniakan oleh Allah S.W.T yang menguasai dari barat ke timur dan menempa kejayaan bagi tiap satu yang dikerjakannya dengan zat Allah. Ini telah pun dibahaskan dalam Siapakah Zulkarnain dan mengapa ayat ini diturunkan kepada junjungan baginda Rasulullah S.A.W.

Picture

Bermula dengan ayat ke 82 hingga 98 dari Surah Al-Kahfi, Nabi Muhammad S.A.W diceritakan berkenaan pengembaraan Zulkarnain yang mana membongkar satu kisah yang mengaitkan kekuasaan Allah yang mencipta kejadian makhlukNya, mengatur urusan kehidupan serta memberi petunjuk kepada manusia tanda-tanda hampirnya kiamat yang mana segalanya atas ketentuanNya yang Maha Bijaksana lagi Maha Mengetahui. Justeru itu, antara manusia mahu mengambil peringatan atau tidak, ketetapan Allah terus berlangsung sama ada dalam kita sedar ataupun sebaliknya leka mengikut  norma kehidupan semasa.


PicturePengembaraan ke arah Matahari Terbenam

Zulkarnain memulakan pengembaraannya ke arah matahari terbenam (barat). Di sana beliau sampai ke suatu tempat di mana airnya berwarna hitam (dipercayai Black Sea atau Laut Hitam). Beliau memahami, itu adalah penghujung jalan yang mampu beliau pergi.Di situ beliau terjumpa satu kaum manusia, yang kufur. Lalu beliau diberi pilihan oleh Allah iaitu sama ada mereka dibunuh melalui azab siksaan setelah diseru kepada mengesakan Allah ataupun diberi pilihan boleh membuat kebaikan kepada mereka dengan cara menyampaikan dakwah kepada mereka agar beriman kepada Allah. 

 Lalu beliau memberitahu kepada kaum berkenaan. sekiranya melakukan kezaliman dan penindasan akan dihukum kerana orang-orang yang zalim, apabila kembali kepada Tuhannya, akan diazab dengan azab yang pedih. Sebaliknya orang yang berbuat baik, akan diperlakukan dengan sebaik-baiknya. Bahkan mereka akan diberi ganjaran. Sepertimana Firman Allah S.W.T :

Picture

 
Pengembaraan ke arah Matahari Terbit

Kemudian, Zulqarnain meneruskan pengembaraannya ke arah yang bertentangan. Iaitu ke arah matahari terbit (timur). Di sana juga beliau bertemu dengan satu kaum yang ganjil dan pelik tinggal di situ. Mengikut tafsir al-Maraghi mereka tidak berpakaian dan tidak mempunyai rumah kediaman. Mereka hanya tinggal di dalam lubang-lubang tanah. Mereka hanya akan keluar pada waktu malam untuk mencari makanan mengikut cara mereka tidak mengikut kebiasaan bangsa yang lain. Ia dalam erti kata lain hidup secara primitif atas kefahaman tiada perlindungan itu disamakan dengan tidak berpakaian dan kediaman sepertimana Firman Allah S.W.T :


 Sekian dari blog saya dlu